Rindu ini, hebat sekali..

on Tuesday, April 22, 2008

Minggu-minggu ini aku disibukkan dengan beberapa urusan pekerjaan. Bersama tim membahas dan merancang bagaimana urusan dengan NGO dan pemerintah kedepan terkait persoalan yang tak kunjung terang, HIV & AIDS. Pusing dan lelah juga ternyata. Tetapi sekejap perasaan invalid itu selalu sirna dengan adanya senyuman Khalilla. Bayi itu seolah men-charge-ku dengan energi bermaha-maha daya lagi. Menggendong, memandikan, mengganti popok, mendongengkan cerita-cerita (mulai dari serius sampai yang membuat Nina terpingkal-pingkal), hingga menidurkannya. Kegiatan “rumah” yang sangat memberikan makna bahagia.


Memandang Khalilla, kerap kali terlintas wajah almarhumah Ibu. Ya, gambar itu melintas jelas dan selalu dengan senyum hangatnya. Seringkali beberapa detik aku tertegun, merasakan waktu benar-benar terhenti, telingaku terasa tuli, sangat sepi. Sekian detik yang membawa pikiranku ke wajah perempuan yang telah melahirkanku, meregang nyawa demi anak-anaknya, membesarkan, mengajarkan arti budi pekerti, memperdendangkan pertamakali ditelingaku sebuah gubahan manusia yang disebut lagu. Wajah ibuku. Perempuan jawa yang sangat luhur, sangat memegang prinsip kejujuran, yang memiliki keteguhan hati yang ia yakini hingga kapanpun. Ibuku yang sangat aku banggakan.

Aku masih ingat sekali, keteguhan Ibu tetap memakai kain kebaya jawa padahal kami tinggal di ranah Melayu yang sangat plural. Kata abangku, dulu ia sempat melewati masa malu karena ibu yang berkebaya. Tetapi malu itu berubah menjadi perasaan bangga setelah ia mulai dewasa apalagi sekarang. Benar-benar menunjukkan eksistensi kemandirian di tengah hegemoni budaya yang bermacam. Jati diri perempuan jawa yang cerdas dan tegar. Sekian detik yang benar-benar membawaku ke masa-masa kecil. Melihat ibuku dengan kebayanya, jarik, setagen (kain lingkar perut atribut kebaya), dendangannya, masakan-masakan khas ibu, gethuk dan agar-agar buatan ibu, cerita lucu dan cerita-cerita muda ibu, semua…semua…ya semuanya tentang ibu. Tanpa terasa pun mataku yang menerawang berjuta-juta kilometer itu basah oleh air mata. Air mata kerinduan. Rindu seorang anak akan ibu kandungnya.

Kemudian kesunyian yang membahagiakan itupun sirna ketika Khalilla merengek manja seolah meminta aku terus bercerita bagaimana nasib pekerja seks, pecandu madat, narapidana, waria dan gay dengan ancaman HIV jika tempatku bekerja suatu saat tiba-tiba berhenti dan negara tetap tidak peduli. Cepat besar ya Lil :)

Wassalam

@

Siapkah kita disapih?

on Monday, April 21, 2008

Sapih? Kata ini tentunya tidak asing bagi kita. Orang melayu apalagi, mereka akan langsung mengangguk paham. Secara sederhana kata ini dapatkan digunakan oleh manusia atau hewan yang menunjukkan : kondisi setelah masa disusui.

Disusui? Nosi di dengan akhiran –i itu menunjukan ada pihak yang tidak berdaya, kemudian dibantu memberikan air susu. Air susu, ditengarai sebagai sumber kehidupan, penting, vital, pokok, apa sajalah yang mengandung makna penopang kehidupan. Perkembangannya kemudian, kata sapih pun dapat luwes dan pantas digunakan dalam berbagai subyek ataupun obyek dalam berbagai kalimat. Misalnya, dalam kalimat berikut : ”Satu minggu setelah bayi disapih, biasanya ia akan mengalami masa penyesuaian normal yang ditandai dengan diare ringan.”


Hingga kata ”sapih” itupun baru tadi siang kembali menghiasi isi kepalaku. Ya, segenggam massa protoplasma yang sangat kompleks (meminjam istilah ilmuwan Hodgkin dan Huxley) ini pun jadi pening memikirkan kata dan makna: SAPIH!

Kita masih dijajah
Kebetulan, pekerjaanku adalah lembaga internasional yang menjadi ”broker” dari konstelasi program penanggulangan HIV & AIDS pemerintah dan beberapa LSM di Indonesia. Seperti pepatah Melayu : ada persuaan akan ada pula perpisahan, maka dalam situasi sekarang setelah 5 tahun project ini berlangsung, akan ada beberapa LSM mitra dan pemerintah yang akan selesai kontraknya dengan pihak kami. Hal yang lumrah harusnya. Ya seharusnya memang harus lumrah! Tapi kenyataannya situas ini menjadi situasi yang membingungkan sekaligus memuakkan. Semisal : kebingungan itu terjadi di sebuah kota yang memiliki beberapa puskesmas yang sangat potensial secara sumber daya termasuk akses geografis dengan lokalisasi tempat tempat penghidupan pekerja seks perempuan.

Selama ini di lokalisasi itu, kebutuhan pemeriksaan kesehatan reproduksi, IMS bahkan test dan perawatan HIV dilakukan oleh klinik LSM yang kami bantu. Bantuan yang sangat jelas perjanjiannya, bahwa diakhir project situasinya harus berubah. Perubahannya adalah : masyarakat lah yang akan memerankan pendekatan akses layanan kesehatan dan pemerintah lah yang akan memfasilitasi keadaan tersebut. Namun faktanya adalah : semua pihak belum siap menghadapi situasi ”merdeka” ini. Fakta yang sangat menyakitkan, ketika sang negara lewat pejabat dinas kesehatannya mengatakan bahwa puskesmas belum sanggup melakukan peran itu, walaupun sudah mampu secara teknis. Hanya waktu kerja mereka dan porsi layanan kesehatan untuk masyarakat umum harus lebih diutamakan. Untuk point terakhir aku sangat setuju dengan statement nya. Lagi pula siapa yang inginkan mengorbankan kepentingan masyarakat umum.

Pun, sebenarnya 450-an populasi pekerja seks perempuan di lokalisasi itu adalah warga negara yang sedang sakit ini. Yang juga berhak mendapatkan layanan kesehatan. Berhak dilindungi. Hak-hak yang universal yang sudah capek-capek dibahas dalam produk tua ”universal declaration of human rights”. Ataukah pejabat itu sebagai representasi negara telah mengkotak-kotakan warganya menjadi beberapa kelas. Sifat yang sangat menusiawi, memandang manusia dalam kelompok-kelompok (biasanya para psikolog dan filsuf yang hobi melakukan ini).

Lalu dimana LSM tadi yang membantu kesehatan di lokalisasi itu selama ini? Faktanya : mereka sibuk akan menyelamatkan diri masing-masing jika project dengan lembaga donor ini akan berakhir. Realitas yang absurd, tetapi klasik. Ya, semuanya terjebak dalam perspektif sempit PROJECT. Hilang sudah teori sosial yang aku pahami. Salah satunya, ya, Habermas, seorang filsuf besar Jerman kontemporer, ketika ia telah mendefinisikan civil society sebagai ruang diskursus bebas dari intervensi negara. Sebagai ruang bebas, civil society mengandalkan kepada kreativitas, inovasi, dan keswadayaan guna mempertahankan eksistensi dan perkembangannya.
Oh Tuhan, hal itu sama sekali tidak terjadi. Yang terjadi adalah : fenomena menghamba pada materialisme candu asing yang membuai orang-orang yang mengaku LSM itu menjadi mapan...mapan...jauh dari realita sosial bahwa harusnya resah, gelisah melihat tidak berjalannya sistem tatanan masyarakat madani. Malah disikapi juga dengan keresahan, resah karena project-nya akan berakhir. Astagfirullah.

LSM : bingung peran?
Agak teoritis sedikit ya. Konon ada seorang sosiolog AS, Robert Wunthow, mengemukakan teori three sectors model atau model tiga sektor. Dalam teori tersebut seluruh masyarakat itu dibagi menjadi tiga sektor, yaitu sektor swasta, atau sektor pasar (market sector), sektor negara atau masyarakat politik (sama dengan teori Antonio Gramsci) dan sektor volunteer yang disebut juga sektor ketiga (the third sector).

Pilar-pilar utama sektor negara adalah lembaga-lembaga kenegaraaan seperti DPR/D, pemerintah dan lembaga pengadilan, pilar utama sektor pasar adalah perusahaan-perusahaan, termasuk bank-bank. Sedangkan pilar sektor ketiga adalah LSM atau lembaga gerakan masyarakat baru (new social movement). Di ketiga sektor itu berlaku nilai-nilai yang berbeda. Sektor negara berlaku prinsip kekuasaan yang memaksa (coercion), dimana negara, seperti dikatakan oleh Max Weber, memiliki monopoli dan otoritas dalam menjalankan kekerasan guna menegakkan hukum dan peraturan-peraturan. Misalnya dalam menarik pajak, menjamin berlakunya perjanjian dan menjaga keagamaan. Nilai utama sektor swasta adalah mekanisme pasar untuk mendapatkan keuntungan (market mechanism for profit). Sedangkan prinsip sektor ketiga adalah kesukarelaan (voluntary), non profit dan non-coersive. Masing-masing sektor bekerja secara mandiri, tetapi saling berinteraksi.

Dalam kasus lokalisasi di atas, negara, LSM dan sektor swasta dalam hal ini pemberi jasa kesehatan misalnya klinik swasta atau justru bagian fund rising dari LSM tadi sama sekali tidak menjalankan perannya. Apakah ini yang dikatakan sebagai : project syndrome. Sindrom LSM yang hanya semata-mata melakukan project! Dan sekali lagi masyarakat yang dikorbankan.

Jadi, ternyata kita belum siap untuk disapih. Selamat :)

Wassalam

@

Ebony & Ivory

on Wednesday, April 16, 2008



Jari-jari mungil anak perempuan 9 tahun berambut keriting exotic itu menari licah di atas deretan tuts keyboard. Sedangkan dentingan balira dengan nada-nada jazz fusion dari anak yang lebih kecil pun memberikan ornamen yang sangat rancak. Masih dalam atsmosfer keindahan alunan irama di ruang lobby hotel itu, tak luput dari panca inderaku tampak seorang laki-laki beruban tebal berusia sekitar setengah abad, memainkan dawai gitar akustik dan sesekali saksofon dan flute. Bukan hanya memainkan 3 alat musik itu, tampak jelas lelaki itu yang belakangan aku tahu namanya yaitu Joko juga berperan menjadi conductor dari pertunjukan 3 anak manusia yang diberi kemampuan bermusik yang luar biasa itu. Terlihat setiap akan pergantian musik, lelaki itu harus menggunakan gaya persuasive meminta 2 gadis cilik itu bersepakat algu apa yang akan dibawakan selanjutnya. Si keci sering tampak ekspresif jika setuju atau pun tidak setuju atas usul lagu yang akan dibawakan. Khas sekali anak kecil yang menginginkan atau menolak sesuatu. Dan dengan sabar lelaki itu menyikapinya dan tidak butuh waktu lama segera. alunan instrumentalia sang George Benson pun semakin menghingarbingarkan ketakjubanku.


Hingga dari obrolan ku dengan Joko, diketahuilah ternyata sang keyboardist adalah anak perempuannya yang bernama Classica. Sedangkan gadis mungil satunya yang lucu 6 tahun dan sangat lincah memainkan balira, jimbe dan beberapa alat musik pukul lain itu bernama Jazz. Nama-nama yang tak mengherankan dari apa yang mereka tampilkan barusan. ”Kedua anak itu sejak dalam kandungan ibunya sudah saya dperkenalkan dengan musik klasik.” Begitu ujarnya membuka obralan dengan ku. Menurutnya, dari musik klasik kita bisa belajar banyak hal terkait dengan kedisiplinan, sebuah pakem, keharusan yang menghasilkan keindahan. Sambil melanjutkan ceritanya, lelaki ramah yang juga berprofesi sebagi guru musik itu berkomentar bahwa menurutnya, walaupun musik klasik itu bagi sebagian pemusik adalah filsafat dari segala musik berbeda dengannya. Ia mengatakan bahwa jika hanya focus pada musik klasik, seseorang tidak akan menjadi kreatif. Hari-hari bermusiknya akan selalu terjebak pada notasi dari partitur saklek milik maestro-maestro termasyur tempo dulu. “Mereka tidak akan berani menampilkan nada-nada imajinatif dalam otak kanan mereka karena partitur notasi Mozart dan Sebastian Bach telah mempengaruhi logika bermusik dari otak kirinya.” Jelasnya.

Kemudian musik jazz, etnik jawa atau tradisional lainnya hingga genre musik pop berkualitas, ia pilih sebagai media kreatif bagi ia dan anak-anaknya. Tidak pernah ada paksaan untuk anak-anaknya harus bermusik seperti apa. Ia hanya memberikan dasar-dasar logika bermusik yang kemudian melalui proses demokratis yang sangat partisitoris ia dan anak-anaknya akan menentukan jenis musik apa yang akan dibawakannya. Sangat menarik ngobrol dengan bapak 3 anak ini dan ternyata istrinya pun berasal dari dunia musik juga. Istrinya adalah mantan murid les musiknya dulu. Sebuah keluarga yang kaya akan apresiasi akan bermusik.
Dan alhasil dengan keyakinannya membangun rumah tangga baik secara nilai karakter dan penghidupan financial, keluarga itu sangat menikmati. Music has mean everything all of they life. With music they can survive. With music they’ve made a harmony of life, as : Ebony and Ivory.

Malam itu adalah malam yang sangat inspiratif bagiku. Malam pecerahan di sebuah kota Salatiga. Terimakasih pak Joko, Classica dan Jazz.

wassalam

@

Saturday I'm in LOVE

on Sunday, April 13, 2008


April, 12 - 2008 Sabtu? Hari ini terasa sangat berbeda dengan hari-hari lain. Senang, burn out, santai...wah terbayang sudah momen istirahat bagi sebagian besar buruh termasuk aku. Kalau boleh membandingkan, aktifitas di hari sabtu saat masih bujang dengan sekarang (sudah beranak pinak) tentu saja jauh berbeda. Saat bujang, sabtu bisa dihabiskan dengan tidur seharian, bermalas-malas wah...pokoknya benar terkesan looser lah, hahaha..Tapi setelah menikah apalagi bertambah peran menjadi ayah, pemaknaan sabtu adalah tetap dengan tanggungjawab. Mulai dari mengantarkan istri yang juga buruh sales administrasi di perusahaan milik kapitalis Korea di kawasan pelabuhan. Menemani mertua yang datang berkunjung (dengan alasan tengok cucu). Arisan bapak-bapak di kampung yang mayoritas kumpulan pensiunan pegawai negeri (yang ampun! Terbayang ketika mereka dulu bekerja pasti juga tidak genah untuk negara brengsek ini).


Yah..ternyata intervensi masa memang memberikan pengaruh pada manusia untuk memaknai dan menjalankannya. Dulu dan sekarang tentu saja berbeda. Walaupun terasa ada hal-hal yang tidak menyenangkan atau tepatnya membosankan, tetapi memberikan ketertarikan tersendiri bagi aku. Kalau teman kantorku, Mas Huda yang juga mantan wartawan TEMPO, selalu mengatakan : ”Saya sangat kagum dengan sikap Tamara (Blezinsky) yang aktris itu, ketika diwawancarai salah satu infotainment.” katanya. Dengan suara beratnya yang khas, mas Huda mencoba menirukan statement aktris yang kebetulan janda yang amboi cantiknya itu. ”Jika kau tidak bisa merubah keadaan, rubahlah cara pandangmu terhadap keadaaan itu!” begitu katanya. Aku selalu tersenyum jika ia mengatakan itu. Yah ada benarnya juga. Kalau kaum NLP (neuro lenguange program) bilang itulah : REFRAMING! Membingkai suatu persepsi yang lain dengan usaha mencari hikmah! Wow, wisdom...wisdom....Well come to optimism club!Maka segala kegiatan di sabtu akhir pekan dengan statusku sekarang adalah : everything is enjoy, although tired. Hahaha...

Rumah di Pagi Hari
Seperti sabtu minggu ini misalnya. Untuk sekian kali, aku telat menjalankan perintah Tuhan (yang kebetulan aku yakini) untuk subuhan. Aku yakin muadzin adzan subuh masjid pun sudah kembali tidur. Subuh yang harusnya dilakukan pukul 04.00 wib baru aku ladeni di pukul 06.00 wib. Panggilan sholat yang konon sejarahnya dibawakan dengan merdu oleh seorang budak belian pilihan Rassulullah bernama Bilal. Namun bagiku adzan di kampungku sama sekali tidak ada merdu-merdunya. Suara speaker masjid itu terdengar meraung-raung parau bagai burung rangkok jantan yang akan membuahi betinanya. Tapi itulah wujud kerukunan beragama di kampungku sekarang yaitu toleransi beragama yang harus dibayar mahal oleh kelompok agama lain. Tuhan memberkati :)

Khalilla buah hati kami telah asyik bermain dengan bundanya. Tampak ramah ketika namanya aku panggil. Matanya yang bulat memancarkan keriangan dan seolah berkata dan mengingatkanku: ”Ayah hari ini hari sabtu lho, inget nanti nganter bunda kerja, terus nanti menjelang tengah hari main-main lagi denganku, gantiin popokku eh jangan lupa, harus sering gendong aku yang hampir 7 kilo ini. OK, yah? Deal?” Senyum dan ocehan makhluk 3 bulan itu memang yang selalu kami nanti, tampak puas dan menggemaskan di antara payudara istriku yang selalu menjadi pusat gravitasinya. Alhamdulillah, ASI dari Nina selalu mencukupi nutrisi bayi gempal kami ini. Aku sangat salut pada istriku. Dengan penuh ketelatenan setiap berangkat kerja tak lupa ia membawa seperangkat alat : pemeras susu lengkap dengan botol-botol penyimpan dan termos es sebagai wadah. Senin sampai jum’at, peralatan itu selalu ia bawa dan kegiatannya adalah : setiap jam istirahat selama 1 jam ia selalu menyendiri untuk memeras ASI.

Tekun dan penuh keikhlasan. Gila, tidak terbayangkan bagi bagiku peran seorang ibu memang luar biasa, mengandung, melahirkan, menyusui, mendidik, menjadi sahabat sekaligus guru bagi anak-anaknya selain mitra yang equal dengan suaminya. Luar biasa, aku memandang istriku secara fisiologis telah menciptakan kerja-kerja kelenjar mamme lengkap dengan semua alveolus bersenyawa dengan darah keibuannya. Sehingga air yang mengadung protein sebagai antibodi dan nutrisi kebutuhan bayi sebagai mukzizat Tuhan itu pun keluar dengan lancar.Aktifitas selanjutnya adalah yang paling menyenangkan bersama Khalila, yaitu : Time To Bath! Melihat wajah mungilnya yang lucu yang selalu senang berada di dalam air yang membawa memorinya saat berenang di air ketuban kandungan bundanya. Ia sangat antusias, ya terlihat dari suara-suara lucu yang ia keluarkan, gerakan aktif kaki dan tangan yang menghentakkan air yang menggenanginya. Menggemaskan sekali. Aku dan Nina pun terbawa dalam kegembiraan, sambil selalu bercakap-cakap dengan Khalilla seolah-olah kami terlibat percakapan dan saling memahami.

Meninggalkan Rumah
Tepat pukul 7.30 wib, aku pun mengantarkan Nina ke tempat kerjanya. Waktu tempuh dari rumah kami sekarang di Banyumanik ke tempat kerja Nina sekitar 45 menit kalau naik sepeda motor. Jika pakai mobil hanya 30 menit melintasi 23 km dengan harus bersilahturami plus membayar hingga 2 kali kepada penjaga pintu tol. Gaya hidup kami dilihat dari jarak tempuh rumah dengan pekerjaan, sudah seperti kaum post urban saja. Hahaha..Kali ini sengaja aku menggunakan sepeda motor, karena hari ini aku memang akan men-service motor buatan Jepang itu ke bengkel. Apalagi setelah Nina pindah di tempat kerjanya sekarang, setiap malam setelah pulang kerja terpaksa aku harus mencuci mobil. Ya, faktanya seluruh jalan menuju kawasan pelabuhan Tanjung Mas selalu digenangi air laut yang pasang ke darat (orang-orang menyebutnya dengan istilah : rob). Air laut yang kandungan garamnya tinggi itupun dapat berdampak korosit (pengaratan) pada besi. Termasuk besi mobil, sepeda motor ataupun rangka bangunan yang ada di kawasan tersebut.

Sebagai contoh jalan utama menuju pintu I pelabuhan Tanjung Mas yaitu jalan Ronggowarsito, busyet! Genangan air sepanjang 200 m dengan kedalaman hampir setengah dari tinggi ban mobil itu pun lebih pantas dikatakan sebagai pantai. Gila! Itu fakta pembangunan yang terjadi lebih dari 5 tahun! Ibu kota propinsi taik kucing apa ini###@@@@!!??? Semua jalan menuju pelabuhan industri dan penumpang terbesar di Jawa Tengah itu digenangi rob. Padahal fungsi pelabuhan inilah yang menjadikan Semarang ini sebagai kota industri, pelabuhan perniagaan yang di dalamnya ada beribu buruh dan pejabat mengandalkan periuk nasinya. Lebih dari 50% pendapatan aset daerah (PAD) diperoleh dari kawasan tersebut. Gila! Gila! Pejabat ibu kota ini yang namanya Walikota dan aparat nya memang hanya seonggok daging busuk dengan hati penuh belatung dan otak yang tak lebih sebesar biji taik kumbang! Mereka tidak pantas dikatakan sebagai abdi masyarakat! Sungguh tidak pantas! Huhh! ????????? Hmm....ketika membicarakan negara, aku selalu menjadi kaum apatis! Brengsek, ternyata negara ini juga mempengaruhi cara berpikirku. Hahaha....belum katam juga aliran optimisme dalam pikiranku.

Eureka!
Dan sama. Hari ini ketinggian genangan air adalah setinggi betis orang dewasa. Setelah lumayan bersusah payah melewati pinggiran jalan dipenuhi bebatuan kasar, sekitar pukul 08.30 wib akhirnya sampai juga di kantor Nina. Setali tiga uang! Karena kompleks perkantoran yang hampir semuanya adalah perusahaan forwarding dan shipping milik asing yang berkantor cabang di kawasan pelabuhan itu pun tak luput dari genangan air laut. Yah sudahlah..malas aku membahasnya.

Setelah mengantar Nina, aku pun langsung mewujudkan agenda hari sabtu ini yaitu : service sepeda motor. Aku segara meluncur ke kawasan Stadion Utara untuk setel peleg roda. Kawasan stadion itu memang terkenal dengan belasan bengkel yang membetulkan peleg sepeda motor, daerah pedagang konstruksi besi bangunan dan satu ini yang tak kalah menarik : kawasan pedagang buku. Ya, setelah mendapatkan bengkel peleg aku istirahat sebentar. Lumayan capek, maklum sudah lama gak bawa motor untuk keperluan yang bakal seharian seperti ini. Sambil ngobrol ringan dengan si bapak bengkel, tiba-tiba pandanganku tertarik dengan beberapa lapak (kedai/kios) buku yang baru dibuka oleh pemiliknya. ”Kebetulan!” pikirku. Mungkin ini yang dinamakannya jodoh. Karena beberapa bulan aku memang ingin mencari buku-buku lanjutan tetralogi Andrea Hirata setelah Laskar Pelangi. ”Eureka!!” Aku putuskan untuk mendatangi sebuah lapak di samping bengkel tadi. Ramah sekali bapak penjualnya, dan tidak butuh waktu lama buku kedua dan ketiga bagian dari tetralogi karya anak negeri yang menjadi best seller dari motivation book itu pun aku dapatkan. Sang Pemimpi dan Edensor. Dua (2) buah buku yang akhirnya aku dapatkan, sebenarnya masih ada 1 buku lagi yaitu buku ke empat karya dari makhluk ”melayu” yang kaya goresan susastra dengan potret kenangan dan kajian ilmiah. Ya, buku dengan judul Maryamah Karpov itu belum beredar.

Belum lagi aku membaca buku-buku itu, dalam otakku segera muncul gagasan : ”Nina pulang jam 1 siang, nah saatnya mencari tempat yang nyaman untuk menikmati buku-buku ini!” Ya, benar, STASIUN TAWANG!” Gila...seolah-olah benar kata tokoh yang memberi pengantar dan komentar dalam buku-buku Andrea ini. Memberikan motivasi dan inspirasi. Hahahaha....dasar cerdas benar otak penerbit sekaigus pedagang buku ini ya. Dan memang dari buku Laskar Pelangi telah memberikan gambaran sederhana perjalanan hidup anak manusia dengan lingkungannya dengan segala kerangka penghargaan terhadap segala kemungkinan dan nilai luhur kemanusiaan. Jujur, memang aku terinspirasi. Dan dari satu buku yang telah aku baca, sangat kuat sekali ceritanya menyentuh kesadaranku. Kalau boleh memberikan komentar, Andrea Hirata berhasil menghadirkan runtutan kisahnya bergaya susastra dengan elaborasi appreciative inquiry. Sebuah model revolusi berfikir yang sangat menghargai manusia dan potensinya sebagai asset based thinking. (Terimakasih mas Dani Moenggoro atas pengantarnya). Luar biasa!

Stasiun Tawang
Setelah mendapatkan buku-buku itu, dan pas sekali peleg sepeda motorku juga telah selesai. Masih ada agenda hari ini yang belum selesai yaitu : service sepeda motor. Segara aku melucur ke daerah jalan Mataram untuk mencari bengkel. Dapat! Dan setelah memberikan beberapa request ini itu untuk service maka tidak butuh lama segera aku mulai membaca Sang Pemimpi. Menarik...dan semakin menarik buku ini.

Larut dalam keasyikan aku membaca, tidak terasa 30 menit sudah aku berada di bengkel itu dan ternyata selesai pula 2 orang montir itu menggarap motorku. Aku lihat jam di tanganku : ”hmm..masih jam 10.30 wib” pikirku. Setelah itu pun aku melanjutkan perjalananku. Dan karena dahaga yang lumayan membuat tenggorokan kering di kota pesisir dengan suhu sekitar 35 0 C, aku putuskan untuk singgah ke warung cina penjual es kelapa ”Kartika Sari” masih di daerah Mataram. Segar sekali dan memang sejak dulu, warung ini menjual es air kelapa pilihan dan orang-orang tua di Semarang tahu. Kelapa yang dipilihnya adalah kelapa mudah hijau yang degan nya sudah menjelang padat tapi tetap bisa dikunyah dengan kekuatan gusi...Rapuh dan lunak tetapi mulut ini tetap dapat merasakan patahan degan muda itu. Ditambah air kelapa yang dicampur dengan sirup khas warung itu. Sungguh tidak terasa intervensi pemanis buatan dalam sirupnya. Sungguh nikmat sekali. Dan itulah sebabnya, biasanya warung yang juga ruko berukuran 10 x 5 meter itu selalu dipadati pembeli. Tapi karena saat itu masih terlalu pagi, hanya baru aku yang menjadi pembeli. Aku menikmati betul segelas besar air kelapa dan degan itu sambil tak lupa melanjutkan membaca Sang Pemimpi.

Tidak sungkan-sungkan aku sesekali tertawa dan diam haru karena buku itu. Beberapa pembeli pun sudah silih berganti berdatangan. Lama-lama akupun merasa tidak pantas berlama-lama di situ. Sudah 30 menit aku di sana. hahaha..Rupanya pengaruh etika jawa ini pun ternyata mempengaruhi kebiasaanku. Aku putuskan untuk cabut dan meluncur ke stasiun Tawang yang telah aku impikan dari tadi. Hanya membutuhkan waktu 5 menit dari warung es tadi aku telah sampai ke Stasiun Tawang.

Stasiun kereta api peninggalan Belanda pada tahun 1920an ini masih terkesan kokoh dan bagus. Design arsitektur seorang Thomas Kersten, arsitek asal Belanda, ternyata menujukkan eksistensi sebuah karya cipta manusia yang tak lekang dimakan jaman. Kalau membaca cerita akhir hayat sang arsitek Belanda ini ternyata cukup tragis, ia akhirnya mati sebagai tawanan tentara Jepang yang sebelumnya juga sempat menikahi seorang perempuan Wonosobo. Beberapa karya ciptanya hingga saat ini masih difungsikan oleh masyarakat dan pemerintah Semarang seperti : Pasar Johar (walaupun sempat mau digusur oleh makhluk yang bernama Sukawi yang mengaku walikota itu), Gereja Blendug, Gedung Lawang Sewu (the exotic building), dan banyak bangunan tua lainnya. Hmm...Inilah sedikit dari banyak cerita sebuah negeri yang pernah dijajah banyak negara...hingga saat ini..hahahaha..

Parkir sepeda motor dan masuk ke dalam stasiun. Gratis? Oh tidak! Mana ada yang gratis di negara sakit ini. Alasan peron 1000 perak pun harus dikeluarkan, it’s ok! Biarlah. terserah mereka saja lah yang mengaku pengampu jawatan kereta api negera ini. Tepat sekali feeling-ku. Suasana pagi menjelang siang di Stasiun Tawang begitu mempesona. Tidak terlalu ramai. Karena kereta-kereta baru akan mulai sibuk sekitar pukul 12.30 siang nanti. ”Ah..Mantap.” pikirku. Segera aku mencari bangku tunggu di dalam stasiun. Ya dapat. Bangku dengan list besi dan topangan dari kayu jati tua yang masih terkesan kokoh. Nyaman sekali. Tidak butuh pikir lama, aku segera mengeluarkan buku yang tak sabar ingin kubaca. Sungguh larut aku dalam jalan cerita Sang Pemimpi. Bagaimana sequal dari Laskar Pelangi ini membawaku seakan aku mengikuti pengalaman masa remaja Ikal, Arai dan Jimbron. Sekali lagi, tidak berlebihan aku memuji si penulis ini. Sangat apresiatif.

Tanpa sadar pandanganku terganggu pada seorang anak muda di seberang rel kereta. Tidak ada yang luar biasa, hanya saja aneh menurutku. Pemuda itu bertelanjang dada hanya menggunakan celana pendek, sepatu dan kaos kaki yang panjangnya sampai ke lutut. Yang membuatku tertarik adalah, tingkah lakunya seolah ingin menunjukkan kepada semua orang yang ada di stasiun : ”aku sedang berlatih bertinju!” Apa??? Ya..tentu saja pemandangan itu mengundang perhatian orang banyak. Aku sendiri sempat tersenyum. Dalam hatiku sempat bertanya : ”apakah pemuda itu kurang waras?” Tapi segera aku tepis pikiran negatifku itu. Aku kembali tersenyum di antara orang-orang lain yang tertawa dan ada pula sekelompok orang yang membahas dengan nada mengejek. Aku tersenyum dengan berujar dalam hati: ”Ya, siapa tahu dia memang bukan siapa-siapa hari ini, tapi suatu hari nanti bisa saja ia menjadi petinju masyur. Karena dia sangat rajin berlatih dan ia menginkan hal itu. Walaupun sarana berlatihnya hanya di sebuah stasiun dengan ditertawai dan dicemohi banyak orang.” Siapa tahu? Wallahu’alam.

Hampir jam 13.00 siang, aku pun harus kembali menjemput Nina. Kembali melewati banjir. Untuk membawa dan menemaninya kembali ke pulang dimana anak kami pasti telah menunggu dengan tidur pulasnya yang menggemaskan.

wassalam

@