Ebony & Ivory

on Wednesday, April 16, 2008



Jari-jari mungil anak perempuan 9 tahun berambut keriting exotic itu menari licah di atas deretan tuts keyboard. Sedangkan dentingan balira dengan nada-nada jazz fusion dari anak yang lebih kecil pun memberikan ornamen yang sangat rancak. Masih dalam atsmosfer keindahan alunan irama di ruang lobby hotel itu, tak luput dari panca inderaku tampak seorang laki-laki beruban tebal berusia sekitar setengah abad, memainkan dawai gitar akustik dan sesekali saksofon dan flute. Bukan hanya memainkan 3 alat musik itu, tampak jelas lelaki itu yang belakangan aku tahu namanya yaitu Joko juga berperan menjadi conductor dari pertunjukan 3 anak manusia yang diberi kemampuan bermusik yang luar biasa itu. Terlihat setiap akan pergantian musik, lelaki itu harus menggunakan gaya persuasive meminta 2 gadis cilik itu bersepakat algu apa yang akan dibawakan selanjutnya. Si keci sering tampak ekspresif jika setuju atau pun tidak setuju atas usul lagu yang akan dibawakan. Khas sekali anak kecil yang menginginkan atau menolak sesuatu. Dan dengan sabar lelaki itu menyikapinya dan tidak butuh waktu lama segera. alunan instrumentalia sang George Benson pun semakin menghingarbingarkan ketakjubanku.


Hingga dari obrolan ku dengan Joko, diketahuilah ternyata sang keyboardist adalah anak perempuannya yang bernama Classica. Sedangkan gadis mungil satunya yang lucu 6 tahun dan sangat lincah memainkan balira, jimbe dan beberapa alat musik pukul lain itu bernama Jazz. Nama-nama yang tak mengherankan dari apa yang mereka tampilkan barusan. ”Kedua anak itu sejak dalam kandungan ibunya sudah saya dperkenalkan dengan musik klasik.” Begitu ujarnya membuka obralan dengan ku. Menurutnya, dari musik klasik kita bisa belajar banyak hal terkait dengan kedisiplinan, sebuah pakem, keharusan yang menghasilkan keindahan. Sambil melanjutkan ceritanya, lelaki ramah yang juga berprofesi sebagi guru musik itu berkomentar bahwa menurutnya, walaupun musik klasik itu bagi sebagian pemusik adalah filsafat dari segala musik berbeda dengannya. Ia mengatakan bahwa jika hanya focus pada musik klasik, seseorang tidak akan menjadi kreatif. Hari-hari bermusiknya akan selalu terjebak pada notasi dari partitur saklek milik maestro-maestro termasyur tempo dulu. “Mereka tidak akan berani menampilkan nada-nada imajinatif dalam otak kanan mereka karena partitur notasi Mozart dan Sebastian Bach telah mempengaruhi logika bermusik dari otak kirinya.” Jelasnya.

Kemudian musik jazz, etnik jawa atau tradisional lainnya hingga genre musik pop berkualitas, ia pilih sebagai media kreatif bagi ia dan anak-anaknya. Tidak pernah ada paksaan untuk anak-anaknya harus bermusik seperti apa. Ia hanya memberikan dasar-dasar logika bermusik yang kemudian melalui proses demokratis yang sangat partisitoris ia dan anak-anaknya akan menentukan jenis musik apa yang akan dibawakannya. Sangat menarik ngobrol dengan bapak 3 anak ini dan ternyata istrinya pun berasal dari dunia musik juga. Istrinya adalah mantan murid les musiknya dulu. Sebuah keluarga yang kaya akan apresiasi akan bermusik.
Dan alhasil dengan keyakinannya membangun rumah tangga baik secara nilai karakter dan penghidupan financial, keluarga itu sangat menikmati. Music has mean everything all of they life. With music they can survive. With music they’ve made a harmony of life, as : Ebony and Ivory.

Malam itu adalah malam yang sangat inspiratif bagiku. Malam pecerahan di sebuah kota Salatiga. Terimakasih pak Joko, Classica dan Jazz.

wassalam

@

2 comments:

Anonymous said...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the MP3 e MP4, I hope you enjoy. The address is http://mp3-mp4-brasil.blogspot.com. A hug.

agus aribowo said...

Thxs alot for ur respons..