Hari AIDS Sedunia 2008

on Sunday, December 14, 2008


Dear All,
Tulisan ini aku buat untuk Hari AIDS Sedunia tahun 2008, dan dimuat Harian Joglosemar tanggal 1 Desember 2008. Selamat membaca, SOB! :)

Peran Mengayomi dalam Penanggulangan Epidemi HIV & AIDS
Sebuah refleksi Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2008
Agus Aribowo*


Tema Hari AIDS Sedunia (HAS) tahun 2008 ini adalah : Lead, Empower, Deliver. Rangkaian kata kerja yang cenderung bermakna perintah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai : Arahkan, Berdayakan dan Hantarkan. Sejak pertama kali diperingati yaitu pada tahun 1988, Hari AIDS Sedunia selalu memilih tema yang disesuaikan dengan situasi dunia merespon epidemi mematikan ini. Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, pada tahun 2008 ini pun memunculkan 3 kata kunci yang merupakan representasi dari nilai-nilai tegas kepemimpinan. Tak heran tema ini diangkat, seolah mengingatkan seluruh elemen dunia termasuk Indonesia pada HAS tahun lalu yang mengangkat tema ”Stop AIDS, Tepati Janji”. Seakan mendesak seluruh elemen termasuk negara untuk bertindak serius menyikapi epidemi ini.

Pada kenyataannya, Indonesia termasuk negara peringkat ke 4 kasus HIV & AIDS terbanyak dari 5 besar negara di Asia Tenggara. Negara-negara tersebut adalah : India, Thailand, Myanmar dan Nepal. Sumber penularannya pun hampir sama yaitu terbesar melalui hubungan seks pada kalangan laki-laki beresiko dengan pekerja seks perempun dan pasangannya, kelompok lelaki suka lelaki dan pengguna narkoba suntik. Lebih mengejutkan lagi, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir negara-negara di Asia Tenggara di atas ditambah Srilangka ternyata telah mampu mengendalikan laju penularan HIV. Sedangkan menurut WHO, penularan HIV di Indonesia justru menunjukkan peningkatan, yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara tercepat dalam penularan HIV di dunia.


Departemen Kesehatan RI, memiliki estimasi pada tahun 2010 diperkirakan 500.000 orang terinfeksi HIV. Saat ini saja di Jawa Tengah, sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1993 hingga bulan September 2008 terdapat 1359 orang yang mengidap HIV positif dan 502 kasus AIDS. Jumlah laki-laki tercatat 310 orang atau sekitar 61,75% dan perempuan 192 orang atau sekitar 38,35% (data resmi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, Oktober 2008). Angka ini bisa jadi akan terus meningkat menjadi satu juta orang bila intervensi yang dilakukan tidak signifikan. Konstelasi upaya penanggulangan harus dilakukan secara terfokus, komprehensif dan berkesinambungan.

Sederet janji menunggu bukti
Sekedar mengingatkan, pada tahun 2001 Indonesia termasuk salah satu negara ASEAN yang menyepakati komitmen United Nations General Assembly Special Session on HIV/AIDS (UNGGAS) yaitu pertemuan menteri-menteri se Asia Fasifik. Beberapa butir dalam kesepakatan tersebut yang menuntut peran aktif pemerintah adalah sebagai berikut : 1) Menciptakan kepemimpinan yang kuat di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat; 2) Pencegahan infeksi HIV/AIDS harus menjadi prioritas utama dan dilaksanakan melalui berbagai upaya, terutama melalui pendekatan agama; 3) Perawatan, dukungan dan pengobatan yang terintegrasi dengan upaya pencegahan; 4) Pemberdayaan perempuan untuk mengurangi kerentanan penularan HIV/AIDS termasuk hak-hak reproduksi sehat; 5) Merealisasi pendidikan / penyuluhan kesehatan reproduksi remaja pada remaja / generasi muda dan memberikan hidup sehat (life skill education); 6) Merealisasi hak asasi manusia untuk semua orang untuk mengurangi kerentanan, penghormatan atas hak-hak asasi penderita HIV/AIDS; 7) Mengurangi dampak sosial ekonomi melalui evaluasi dampak, memberik perlindungan hak, martabat orang HIV/AIDS di lingkungan kerja; 8) Melakukan, mengembangkan berbagai penelitian dan upaya selanjutnya untuk mengembangkan penggunaan obat, terutama obat antiretroviral dan obat infeksi opportunistik yang dijamin kesediaan, murah dan terjangkau.

Sedangkan pada tahun 2006, pemerintah Indonesia pernah berjanji akan mencapai target ambisius melalui jargon ”universal acsess”, yaitu pada tahun 2010 nanti ada beberapa indikator keberhasilan penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia akan terpenuhi. Indikator tersebut antara lain : 1) Sebanyak 80% pengguna narkoba suntik (penasun) mengikuti program komprehensif; 2) Sebanyak 50% orang terlibat dalam program 100% penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko; 3) Sedikitnya satu rumah sakit di setiap Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia mampu memberikan pelayanan dan pengobatan ARV pada tahun 2008 serta 50% Puskesmas mampu memberikan layanan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) berbasis masyarakat.

Realisasi dari sederet janji tersebut hingga saat ini belumlah optimal dengan kebutuhan yang ada di masyakarat. Layanan akses jarum steril baru dilakukan 9 puskesmas di DKI Jakarta Jawa Barat serta 20 LSM termasuk di Jawa Tengah. Layanan subsitusi methadone bagi penasun baru hanya di RS Kariadi Semarang. Sedangkan layanan ARV dilakukan 244 rumah sakit rujukan yang ditunjuk Depkes dan tersebar di seluruh Indonesia. Jawa Tengah rumah sakit yang benar-benar siap merawat pasien ODHA hanya 4 RS yaitu di Kota Semarang, Kabupaten Banyumas dan Surakarta. Terdapat total 847 puskesmas di Jawa Tengah, hanya ada 8 yang siap melayani konseling dan testing HIV namun ada satupun siap melayani pasien ODHA terkait infeksi ikutannya. Rendahnya penggunaan kondom secara konsisten pada hubungan seks beresiko pada kelompok laki-laki beresiko yaitu 30 - 40% dan pada kelompok wanita pekerja seks masih berkisar 34 – 35 % (data surveilans terpadu biologis & perilaku, tahun 2007). Realita tersebut menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) atas kesungguhannya menahan laju epidemi HIV & AIDS.

Bantuan pihak asing
Situasi yang amat memprihatinkan tampak pada komitmen pemerintah dalam penanggulangan HIV & AIDS dalam 5 tahun terakhir. Bukan bermaksud mengecilkan peran yang sudah dilakukan oleh pemerintah selama ini. Tak ubahnya kampanye yang meriah dengan jargon-jargon nan indah namun kenyataannya masih jauh dari yang diharapkan. Misalkan, pengadaan obat anti retroviral (ARV) bagi pasien HIV yang ada selama ini masih 100 % bantuan dari lembaga internasional yaitu Global Fund to Fight AIDS - Tubercolosis - Malaria (GF/ATM). Padahal, obat tersebut adalah keharusan medis bagi pasien HIV untuk mempertahankan hidupnya yang harus dikonsumsi seumur hidup. Demikian pula dengan biaya pencegahan bagi kelompok resiko tinggi yang dilakukan oleh sebagian besar LSM pun berasal dari bantuan lembaga internasional.
Dengan kata lain upaya penanggulangan HIV & AIDS masih mengandalkan bantuan asing yang bersifat sementara. Sedangkan komitmen pemerintah dalam mepersiapkan keberlangsungan layanan itu pun masih sangat diragukan. Hal ini dibuktikan dari jumlah anggaran belanja negara (APBN) tahun 2008 yang diperuntukkan bagi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) maupun Departemen Kesehatan sekitar 13,4 juta dolar AS. Sementara lembaga internasional, termasuk dari Amerika Serikat menyumbang sebesar sekitar 51 juta dolar AS. Indonesia juga telah menerima bantuan hibah untuk AIDS dari GFATM periode 2009-2013 sebesar 130 juta dolar AS. Sedangkan anggaran belanja daerah (APBD) tahun 2008 di beberapa propinsi sebesar secara akumulatif sekitar 3,3 juta dolar AS. APBD kota / kabupaten secara akumulatif sekitar 1,7 juta dolar AS.
Bahkan dari pengalaman 2 tahun yang lalu, bantuan hibah dari luar negeri tersebut tidak dapat secara maksimal diserap untuk program penanggulangan HIV & AIDS. Dikarenakan perencanaan yang kurang matang dan mentalitas korup di dalam pelaksanaan program. Setiap daerah di Indonesia memiliki tingkat epidemi yang berbeda. Tentunya perencanaan dari setiap wilayah harus pula merespon epidemi di masing-masing daerahnya. Bukan justru digariskan oleh otoritas ”pusat” dalam menyusun program penanggulangan HIV & AIDS di wilayahnya. Bahkan tidak sedikit, pemerintah daerah yang kebingungan menghadapi template bantuan yang dimandatkan oleh ”pusat”. Tak pelak lagi, program yang direncanakan dan dilaksanakan tidak berjalan maksimal atau bahkan tidak berdampak signifikan terhadap penahanan laju epidemi.

Semestinya prosedur perencanaan pembangunan termasuk rencana penanggulangan HIV & AIDS di daerah harus menggunakan mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrembang). Musrembang adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan untuk menyepakati rencana kegiatan tahun anggaran yang berjalan yang sesuai dengan level tingkatannya. Sehingga perencanaan yang disusun benar-benar menyentuh kebutuhan masyakarat. Namun dalam isu epidemi yang belum ada obatnya ini tidak semua propinsi, kabupaten maupun kota melakukannya. Bagaimana isu ini akan mendapatkan dukungan serius dari pemerintah daerah bahkan masyakarat, jika proses perencanaannya pun tidak partisipatif. Isu HIV & AIDS yang mengkampanyekan anti stigma dan diskriminasi ini pun, semakin menjadi terdiskriminasi karena ”keasingannya” di bumi pertiwi ini.

Menggugah partisipasi masyarakat
Semakin meluasnya pidemi HIV & AIDS hendaknya menjadi momentum kesadaran kritis oleh masyakarat. Kesadaran kritis ini berguna untuk mendorong peran aktif negara agar bertindak lebih nyata. Kerjasama yang mengarah pada terciptanya jejaring penanggulangan HIV & AIDS adalah media yang diharapkan dalam upaya menahan laju epidemi. Contoh menarik oleh Pemerintah Kota Surakarta yang menerapkan sistem asuransi kesehatan bagi warganya dengan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS). Program ini didanai oleh APBD dengan tujuan melayani kesehatan warga kota yang tidak mampu termasuk pasien ODHA yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Hal tersebut menujukkan kearifan lokal dalam tata nilai budaya masyarakat hendaknya menjadi potensi utama penggalangan dukungan dari masyarakat. Kolaborasi antara sifat mengayomi serta keterbukaan dari pemerintah dengan dukungan maksimal dari elemen masyarakat, sektor usaha maupun LSM mutlak dibutuhkan.
Hal yang terpenting dari upaya di atas hendaknya menggabungkan respon terhadap epidemi di atas kedalam sistim yang sudah ada lebih dahulu ada baik dalam struktur pemerintah ataupun dalam tata nilai masyakarat. Penciptaan lingkungan yang kondusif pun mutlak dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu kepolisian, legeslatif, organisasi komunitas kelompok resiko tinggi, organisasi ODHA, kelompok mucikari, pengurus lokalisasi, aparat desa hingga masyarakat umum. Serta memastikan keberlangsungan jangka panjang dari program yang dilakukan. Pengalaman membuktikan, bahwa penciptaan instrumen dalam kebijakan penanggulangan HIV & AIDS yang hanya berlandaskan pemahaman instan dan tidak memberdayakan potensi yang ada justru tidak akan berumur panjang. Lawan epidemi HIV & AIDS dengan kekuatan serta potensi lokal yang ada.


* Penulis adalah Program Manager Family Health International / Aksi Stop AIDS Central Java