Siapkah kita disapih?

on Monday, April 21, 2008

Sapih? Kata ini tentunya tidak asing bagi kita. Orang melayu apalagi, mereka akan langsung mengangguk paham. Secara sederhana kata ini dapatkan digunakan oleh manusia atau hewan yang menunjukkan : kondisi setelah masa disusui.

Disusui? Nosi di dengan akhiran –i itu menunjukan ada pihak yang tidak berdaya, kemudian dibantu memberikan air susu. Air susu, ditengarai sebagai sumber kehidupan, penting, vital, pokok, apa sajalah yang mengandung makna penopang kehidupan. Perkembangannya kemudian, kata sapih pun dapat luwes dan pantas digunakan dalam berbagai subyek ataupun obyek dalam berbagai kalimat. Misalnya, dalam kalimat berikut : ”Satu minggu setelah bayi disapih, biasanya ia akan mengalami masa penyesuaian normal yang ditandai dengan diare ringan.”


Hingga kata ”sapih” itupun baru tadi siang kembali menghiasi isi kepalaku. Ya, segenggam massa protoplasma yang sangat kompleks (meminjam istilah ilmuwan Hodgkin dan Huxley) ini pun jadi pening memikirkan kata dan makna: SAPIH!

Kita masih dijajah
Kebetulan, pekerjaanku adalah lembaga internasional yang menjadi ”broker” dari konstelasi program penanggulangan HIV & AIDS pemerintah dan beberapa LSM di Indonesia. Seperti pepatah Melayu : ada persuaan akan ada pula perpisahan, maka dalam situasi sekarang setelah 5 tahun project ini berlangsung, akan ada beberapa LSM mitra dan pemerintah yang akan selesai kontraknya dengan pihak kami. Hal yang lumrah harusnya. Ya seharusnya memang harus lumrah! Tapi kenyataannya situas ini menjadi situasi yang membingungkan sekaligus memuakkan. Semisal : kebingungan itu terjadi di sebuah kota yang memiliki beberapa puskesmas yang sangat potensial secara sumber daya termasuk akses geografis dengan lokalisasi tempat tempat penghidupan pekerja seks perempuan.

Selama ini di lokalisasi itu, kebutuhan pemeriksaan kesehatan reproduksi, IMS bahkan test dan perawatan HIV dilakukan oleh klinik LSM yang kami bantu. Bantuan yang sangat jelas perjanjiannya, bahwa diakhir project situasinya harus berubah. Perubahannya adalah : masyarakat lah yang akan memerankan pendekatan akses layanan kesehatan dan pemerintah lah yang akan memfasilitasi keadaan tersebut. Namun faktanya adalah : semua pihak belum siap menghadapi situasi ”merdeka” ini. Fakta yang sangat menyakitkan, ketika sang negara lewat pejabat dinas kesehatannya mengatakan bahwa puskesmas belum sanggup melakukan peran itu, walaupun sudah mampu secara teknis. Hanya waktu kerja mereka dan porsi layanan kesehatan untuk masyarakat umum harus lebih diutamakan. Untuk point terakhir aku sangat setuju dengan statement nya. Lagi pula siapa yang inginkan mengorbankan kepentingan masyarakat umum.

Pun, sebenarnya 450-an populasi pekerja seks perempuan di lokalisasi itu adalah warga negara yang sedang sakit ini. Yang juga berhak mendapatkan layanan kesehatan. Berhak dilindungi. Hak-hak yang universal yang sudah capek-capek dibahas dalam produk tua ”universal declaration of human rights”. Ataukah pejabat itu sebagai representasi negara telah mengkotak-kotakan warganya menjadi beberapa kelas. Sifat yang sangat menusiawi, memandang manusia dalam kelompok-kelompok (biasanya para psikolog dan filsuf yang hobi melakukan ini).

Lalu dimana LSM tadi yang membantu kesehatan di lokalisasi itu selama ini? Faktanya : mereka sibuk akan menyelamatkan diri masing-masing jika project dengan lembaga donor ini akan berakhir. Realitas yang absurd, tetapi klasik. Ya, semuanya terjebak dalam perspektif sempit PROJECT. Hilang sudah teori sosial yang aku pahami. Salah satunya, ya, Habermas, seorang filsuf besar Jerman kontemporer, ketika ia telah mendefinisikan civil society sebagai ruang diskursus bebas dari intervensi negara. Sebagai ruang bebas, civil society mengandalkan kepada kreativitas, inovasi, dan keswadayaan guna mempertahankan eksistensi dan perkembangannya.
Oh Tuhan, hal itu sama sekali tidak terjadi. Yang terjadi adalah : fenomena menghamba pada materialisme candu asing yang membuai orang-orang yang mengaku LSM itu menjadi mapan...mapan...jauh dari realita sosial bahwa harusnya resah, gelisah melihat tidak berjalannya sistem tatanan masyarakat madani. Malah disikapi juga dengan keresahan, resah karena project-nya akan berakhir. Astagfirullah.

LSM : bingung peran?
Agak teoritis sedikit ya. Konon ada seorang sosiolog AS, Robert Wunthow, mengemukakan teori three sectors model atau model tiga sektor. Dalam teori tersebut seluruh masyarakat itu dibagi menjadi tiga sektor, yaitu sektor swasta, atau sektor pasar (market sector), sektor negara atau masyarakat politik (sama dengan teori Antonio Gramsci) dan sektor volunteer yang disebut juga sektor ketiga (the third sector).

Pilar-pilar utama sektor negara adalah lembaga-lembaga kenegaraaan seperti DPR/D, pemerintah dan lembaga pengadilan, pilar utama sektor pasar adalah perusahaan-perusahaan, termasuk bank-bank. Sedangkan pilar sektor ketiga adalah LSM atau lembaga gerakan masyarakat baru (new social movement). Di ketiga sektor itu berlaku nilai-nilai yang berbeda. Sektor negara berlaku prinsip kekuasaan yang memaksa (coercion), dimana negara, seperti dikatakan oleh Max Weber, memiliki monopoli dan otoritas dalam menjalankan kekerasan guna menegakkan hukum dan peraturan-peraturan. Misalnya dalam menarik pajak, menjamin berlakunya perjanjian dan menjaga keagamaan. Nilai utama sektor swasta adalah mekanisme pasar untuk mendapatkan keuntungan (market mechanism for profit). Sedangkan prinsip sektor ketiga adalah kesukarelaan (voluntary), non profit dan non-coersive. Masing-masing sektor bekerja secara mandiri, tetapi saling berinteraksi.

Dalam kasus lokalisasi di atas, negara, LSM dan sektor swasta dalam hal ini pemberi jasa kesehatan misalnya klinik swasta atau justru bagian fund rising dari LSM tadi sama sekali tidak menjalankan perannya. Apakah ini yang dikatakan sebagai : project syndrome. Sindrom LSM yang hanya semata-mata melakukan project! Dan sekali lagi masyarakat yang dikorbankan.

Jadi, ternyata kita belum siap untuk disapih. Selamat :)

Wassalam

@

0 comments: