Hari AIDS Sedunia 2008

on Sunday, December 14, 2008


Dear All,
Tulisan ini aku buat untuk Hari AIDS Sedunia tahun 2008, dan dimuat Harian Joglosemar tanggal 1 Desember 2008. Selamat membaca, SOB! :)

Peran Mengayomi dalam Penanggulangan Epidemi HIV & AIDS
Sebuah refleksi Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2008
Agus Aribowo*


Tema Hari AIDS Sedunia (HAS) tahun 2008 ini adalah : Lead, Empower, Deliver. Rangkaian kata kerja yang cenderung bermakna perintah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai : Arahkan, Berdayakan dan Hantarkan. Sejak pertama kali diperingati yaitu pada tahun 1988, Hari AIDS Sedunia selalu memilih tema yang disesuaikan dengan situasi dunia merespon epidemi mematikan ini. Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, pada tahun 2008 ini pun memunculkan 3 kata kunci yang merupakan representasi dari nilai-nilai tegas kepemimpinan. Tak heran tema ini diangkat, seolah mengingatkan seluruh elemen dunia termasuk Indonesia pada HAS tahun lalu yang mengangkat tema ”Stop AIDS, Tepati Janji”. Seakan mendesak seluruh elemen termasuk negara untuk bertindak serius menyikapi epidemi ini.

Pada kenyataannya, Indonesia termasuk negara peringkat ke 4 kasus HIV & AIDS terbanyak dari 5 besar negara di Asia Tenggara. Negara-negara tersebut adalah : India, Thailand, Myanmar dan Nepal. Sumber penularannya pun hampir sama yaitu terbesar melalui hubungan seks pada kalangan laki-laki beresiko dengan pekerja seks perempun dan pasangannya, kelompok lelaki suka lelaki dan pengguna narkoba suntik. Lebih mengejutkan lagi, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir negara-negara di Asia Tenggara di atas ditambah Srilangka ternyata telah mampu mengendalikan laju penularan HIV. Sedangkan menurut WHO, penularan HIV di Indonesia justru menunjukkan peningkatan, yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara tercepat dalam penularan HIV di dunia.


Departemen Kesehatan RI, memiliki estimasi pada tahun 2010 diperkirakan 500.000 orang terinfeksi HIV. Saat ini saja di Jawa Tengah, sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1993 hingga bulan September 2008 terdapat 1359 orang yang mengidap HIV positif dan 502 kasus AIDS. Jumlah laki-laki tercatat 310 orang atau sekitar 61,75% dan perempuan 192 orang atau sekitar 38,35% (data resmi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, Oktober 2008). Angka ini bisa jadi akan terus meningkat menjadi satu juta orang bila intervensi yang dilakukan tidak signifikan. Konstelasi upaya penanggulangan harus dilakukan secara terfokus, komprehensif dan berkesinambungan.

Sederet janji menunggu bukti
Sekedar mengingatkan, pada tahun 2001 Indonesia termasuk salah satu negara ASEAN yang menyepakati komitmen United Nations General Assembly Special Session on HIV/AIDS (UNGGAS) yaitu pertemuan menteri-menteri se Asia Fasifik. Beberapa butir dalam kesepakatan tersebut yang menuntut peran aktif pemerintah adalah sebagai berikut : 1) Menciptakan kepemimpinan yang kuat di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat; 2) Pencegahan infeksi HIV/AIDS harus menjadi prioritas utama dan dilaksanakan melalui berbagai upaya, terutama melalui pendekatan agama; 3) Perawatan, dukungan dan pengobatan yang terintegrasi dengan upaya pencegahan; 4) Pemberdayaan perempuan untuk mengurangi kerentanan penularan HIV/AIDS termasuk hak-hak reproduksi sehat; 5) Merealisasi pendidikan / penyuluhan kesehatan reproduksi remaja pada remaja / generasi muda dan memberikan hidup sehat (life skill education); 6) Merealisasi hak asasi manusia untuk semua orang untuk mengurangi kerentanan, penghormatan atas hak-hak asasi penderita HIV/AIDS; 7) Mengurangi dampak sosial ekonomi melalui evaluasi dampak, memberik perlindungan hak, martabat orang HIV/AIDS di lingkungan kerja; 8) Melakukan, mengembangkan berbagai penelitian dan upaya selanjutnya untuk mengembangkan penggunaan obat, terutama obat antiretroviral dan obat infeksi opportunistik yang dijamin kesediaan, murah dan terjangkau.

Sedangkan pada tahun 2006, pemerintah Indonesia pernah berjanji akan mencapai target ambisius melalui jargon ”universal acsess”, yaitu pada tahun 2010 nanti ada beberapa indikator keberhasilan penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia akan terpenuhi. Indikator tersebut antara lain : 1) Sebanyak 80% pengguna narkoba suntik (penasun) mengikuti program komprehensif; 2) Sebanyak 50% orang terlibat dalam program 100% penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko; 3) Sedikitnya satu rumah sakit di setiap Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia mampu memberikan pelayanan dan pengobatan ARV pada tahun 2008 serta 50% Puskesmas mampu memberikan layanan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) berbasis masyarakat.

Realisasi dari sederet janji tersebut hingga saat ini belumlah optimal dengan kebutuhan yang ada di masyakarat. Layanan akses jarum steril baru dilakukan 9 puskesmas di DKI Jakarta Jawa Barat serta 20 LSM termasuk di Jawa Tengah. Layanan subsitusi methadone bagi penasun baru hanya di RS Kariadi Semarang. Sedangkan layanan ARV dilakukan 244 rumah sakit rujukan yang ditunjuk Depkes dan tersebar di seluruh Indonesia. Jawa Tengah rumah sakit yang benar-benar siap merawat pasien ODHA hanya 4 RS yaitu di Kota Semarang, Kabupaten Banyumas dan Surakarta. Terdapat total 847 puskesmas di Jawa Tengah, hanya ada 8 yang siap melayani konseling dan testing HIV namun ada satupun siap melayani pasien ODHA terkait infeksi ikutannya. Rendahnya penggunaan kondom secara konsisten pada hubungan seks beresiko pada kelompok laki-laki beresiko yaitu 30 - 40% dan pada kelompok wanita pekerja seks masih berkisar 34 – 35 % (data surveilans terpadu biologis & perilaku, tahun 2007). Realita tersebut menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) atas kesungguhannya menahan laju epidemi HIV & AIDS.

Bantuan pihak asing
Situasi yang amat memprihatinkan tampak pada komitmen pemerintah dalam penanggulangan HIV & AIDS dalam 5 tahun terakhir. Bukan bermaksud mengecilkan peran yang sudah dilakukan oleh pemerintah selama ini. Tak ubahnya kampanye yang meriah dengan jargon-jargon nan indah namun kenyataannya masih jauh dari yang diharapkan. Misalkan, pengadaan obat anti retroviral (ARV) bagi pasien HIV yang ada selama ini masih 100 % bantuan dari lembaga internasional yaitu Global Fund to Fight AIDS - Tubercolosis - Malaria (GF/ATM). Padahal, obat tersebut adalah keharusan medis bagi pasien HIV untuk mempertahankan hidupnya yang harus dikonsumsi seumur hidup. Demikian pula dengan biaya pencegahan bagi kelompok resiko tinggi yang dilakukan oleh sebagian besar LSM pun berasal dari bantuan lembaga internasional.
Dengan kata lain upaya penanggulangan HIV & AIDS masih mengandalkan bantuan asing yang bersifat sementara. Sedangkan komitmen pemerintah dalam mepersiapkan keberlangsungan layanan itu pun masih sangat diragukan. Hal ini dibuktikan dari jumlah anggaran belanja negara (APBN) tahun 2008 yang diperuntukkan bagi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) maupun Departemen Kesehatan sekitar 13,4 juta dolar AS. Sementara lembaga internasional, termasuk dari Amerika Serikat menyumbang sebesar sekitar 51 juta dolar AS. Indonesia juga telah menerima bantuan hibah untuk AIDS dari GFATM periode 2009-2013 sebesar 130 juta dolar AS. Sedangkan anggaran belanja daerah (APBD) tahun 2008 di beberapa propinsi sebesar secara akumulatif sekitar 3,3 juta dolar AS. APBD kota / kabupaten secara akumulatif sekitar 1,7 juta dolar AS.
Bahkan dari pengalaman 2 tahun yang lalu, bantuan hibah dari luar negeri tersebut tidak dapat secara maksimal diserap untuk program penanggulangan HIV & AIDS. Dikarenakan perencanaan yang kurang matang dan mentalitas korup di dalam pelaksanaan program. Setiap daerah di Indonesia memiliki tingkat epidemi yang berbeda. Tentunya perencanaan dari setiap wilayah harus pula merespon epidemi di masing-masing daerahnya. Bukan justru digariskan oleh otoritas ”pusat” dalam menyusun program penanggulangan HIV & AIDS di wilayahnya. Bahkan tidak sedikit, pemerintah daerah yang kebingungan menghadapi template bantuan yang dimandatkan oleh ”pusat”. Tak pelak lagi, program yang direncanakan dan dilaksanakan tidak berjalan maksimal atau bahkan tidak berdampak signifikan terhadap penahanan laju epidemi.

Semestinya prosedur perencanaan pembangunan termasuk rencana penanggulangan HIV & AIDS di daerah harus menggunakan mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrembang). Musrembang adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan untuk menyepakati rencana kegiatan tahun anggaran yang berjalan yang sesuai dengan level tingkatannya. Sehingga perencanaan yang disusun benar-benar menyentuh kebutuhan masyakarat. Namun dalam isu epidemi yang belum ada obatnya ini tidak semua propinsi, kabupaten maupun kota melakukannya. Bagaimana isu ini akan mendapatkan dukungan serius dari pemerintah daerah bahkan masyakarat, jika proses perencanaannya pun tidak partisipatif. Isu HIV & AIDS yang mengkampanyekan anti stigma dan diskriminasi ini pun, semakin menjadi terdiskriminasi karena ”keasingannya” di bumi pertiwi ini.

Menggugah partisipasi masyarakat
Semakin meluasnya pidemi HIV & AIDS hendaknya menjadi momentum kesadaran kritis oleh masyakarat. Kesadaran kritis ini berguna untuk mendorong peran aktif negara agar bertindak lebih nyata. Kerjasama yang mengarah pada terciptanya jejaring penanggulangan HIV & AIDS adalah media yang diharapkan dalam upaya menahan laju epidemi. Contoh menarik oleh Pemerintah Kota Surakarta yang menerapkan sistem asuransi kesehatan bagi warganya dengan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS). Program ini didanai oleh APBD dengan tujuan melayani kesehatan warga kota yang tidak mampu termasuk pasien ODHA yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Hal tersebut menujukkan kearifan lokal dalam tata nilai budaya masyarakat hendaknya menjadi potensi utama penggalangan dukungan dari masyarakat. Kolaborasi antara sifat mengayomi serta keterbukaan dari pemerintah dengan dukungan maksimal dari elemen masyarakat, sektor usaha maupun LSM mutlak dibutuhkan.
Hal yang terpenting dari upaya di atas hendaknya menggabungkan respon terhadap epidemi di atas kedalam sistim yang sudah ada lebih dahulu ada baik dalam struktur pemerintah ataupun dalam tata nilai masyakarat. Penciptaan lingkungan yang kondusif pun mutlak dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu kepolisian, legeslatif, organisasi komunitas kelompok resiko tinggi, organisasi ODHA, kelompok mucikari, pengurus lokalisasi, aparat desa hingga masyarakat umum. Serta memastikan keberlangsungan jangka panjang dari program yang dilakukan. Pengalaman membuktikan, bahwa penciptaan instrumen dalam kebijakan penanggulangan HIV & AIDS yang hanya berlandaskan pemahaman instan dan tidak memberdayakan potensi yang ada justru tidak akan berumur panjang. Lawan epidemi HIV & AIDS dengan kekuatan serta potensi lokal yang ada.


* Penulis adalah Program Manager Family Health International / Aksi Stop AIDS Central Java

Laskar Pelangi : Nonton Vs Baca

on Sunday, October 12, 2008


Finally, tiket nonton bioskop film Laskar Pelangi dapat juga. Obsesi nonton sebenarnya sejak launching beberapa yang minggu lalu. Pertama sewaktu akan nonton (masih bulan puasa), aku, Nina dan Entik berniat nonton di Semarang. Tapi antrian sangat panjang yang alhasil ticket box selalu ludes terjual. Aku termasuk orang yang penasaran, jujur bukan mau membandingkan cerita di novelnya dengan dalam bentuk film. Tetapi pingin banget melakukan testing apresiasi-imajinasi membaca-ku dengan seorang Andrea Hirata dan seorang Riri Reza. Sejak membaca novelnya dulu, aku langsung punya imajinasi pada beberapa figur tokoh baik secara fisik, lalu setting kejadian, yang aku bayangkan sekolah SD Muhammadyah itu seperti apa, lalu wajah Belitung yang "dikuras" oleh PT. Timah itu seperti apa..imajinasiku tentang Ikal, Lintang, Mahar dan terutama HARUN. Aku ingin sekali melihat 3 persepsi manusia mengapresiasikan novel dahsyat itu.


Dan saat itu pun tiba. Tadi malam (minggu, 12 Oktober 2008), di waktu tayang terakhir yaitu pukul 21.50 wib. Aku dan Nina berkesempatan untuk nonton film yang telah ditungggu-tunggu selama 1 tahun-an ini. Tepat dugaanku, tidak terlalu jauh apa yang aku imajinasikan dari membaca novelnya dengan apa yang divisualkan oleh seorang Riri Reza. Membayangkan tubuh kecil Lintang yang puluhan kilometer harus ditempuh dari rumah ke sekolah dan kerap kali harus sabar menanti buaya yang melintas di jalan. Atau cerita di toko Harapan Jaya, ketika Ikal kecil yang jatuh cinta pada padangan jemari halus si Aling. Atau tarian majis hasil karya Mahar dalam karnaval antar sekolah. Atau lomba cerdas-cermat yang menjadi momentum proklamasi kecerdasan seorang Lintang walaupun setelah itu kenyataan menyatakan ia terpaksa berhenti sekolah dikarenakan ditinggal mati ayahnya dan harus bertanggungjawab kepada adik-adiknya.

Hmm...apa ya komentarkuSecara napsu hiburan, cukuplah untuk menghibur. Kecerdasan Lintang seorang anak sekolah dasar dalam novel yang dengan lugas ia bercerita tentang Plato, Aristoteles, Newton maupun fenomena ilmiah lainnya berhasil disederhanakan lebih membumi melalui filmnya. Demikian juga waham maestro dan magis yang dimiliki oleh Mahar pun tidak begitu tampak dalam filmnya.Terus terang aku sepenuh hati menyadari bahwa, ideologi pembuatan film ini jauh berbeda dengan ideologi ketika Andrea Hirata menulis novel Laskar Pelangi. Menurutku, secara sajian hiburan terutama tontonan anak, film Laskar Pelangi sangat memberikan suguhan nilai-nilai yang kental akan budi pekerti dan etos belajar yang sangat baik. Riri Reza berhasil menyuguhkan sebagian pesan dari Laskar Pelangi dan sebagian kekayaan ruang empiris dan imajinasi seorang Andrea Hirata ke dalam sebuah layar tiga dimensi. Sebagian dari novel aku rasakan hilang. Untunglah ekspektasi-ku terhadap filmnya tidak terlalu tinggi. Apapun itu, terimakasih dan salut atas apa yang sudah dikerjakan oleh cineas muda yang telah mengadopsi sebuah novel dahsyat Laskar Pelangi dalam sebuah layar kaca Indonesia. Semoga nilai-nilai budi pekerti tetap menjadi motivasi bagi bangsa ini. :)

Salam
@

Idul Fitri Kami

on Friday, October 10, 2008


Suasana menjelang Idul Fitri 1429 H kemarin bagiku secara pribadi menjadi momentum transisi emosional. Lebaran 1 tahun yang lalu, keluarga besarku dapat berkumpul secara lengkap. Diawali dalam proses persiapannya, bapak dan ibu dibantu Abangku dan Kakakku sibuk mneyiapkan segala masakan, membersihkan rumah "kebesaran" kami (ya karena memang terlalu besar), menyiapkan segala hal untuk menyambut kedatangan Bagas & Banu yaitu generasi ketiga yang meneruskan sejarah keluarga kami. Sedangkan aku mendapatkan giliran, lebaran tahun lalu lebih dahulu berlebaran di hari pertama di rumah mertua di Jepara. Aku bisa merasakan hangatnya suasana keramaian di rumah Solo menyambut lebaran. Dan pada hari kedua lebaran, aku dan istriku pun datang ke Solo. Menikmati lebaran bersama orang-orang yang sangat kucintai..orang-orang besar yang telah memberikan banyak tauladan selama ini. Bersama Ibu..


Idul Fitri tahun ini...Aku, Nina, Atik (sepupuku dari Pekanbaru yang sedang kuliah di Semarang) juga Khalilla mudik ke Solo. Jelas berbeda, tahun lalu Khalilla, cucu perempuan pertama Ibu belum lahir. Aku masih teringat bahagianya Ibu ketika dulu aku beritahu bahwa anakku akan lahir perempuan. Ibu seakan-akan jelas terlihat menjadi lebih bersyukur atas apa yang Ibu nantikan selama ini.

2 Hari sebelum lebaran, Bapak mengajakku juga Bang Danang dan Imun menemaninya data mengunjungi beberapa sanak saudaranya di Yogya. Misi perjalanan kami adalah memberikan sedikit bantuan uang dan beberapa pakaian pantas pakai yang sudah Ibu kumpulkan dan Ibu bagi-bagi sendiri untuk beberapa keluarga Bapak yang ada di Yogya. Memang ada beberapa keluarga dari Bapak yang hidup memprihatinkan dan memerlukan bantuan. Hal itu selalu menjadi konsern ibu setiap tahun. Itulah salah satu sifat luhur Ibu yang selalu menjadi contoh bagi kami. Ibu memiliki welas asih yang tinggi. Semoga kamipun selalu dijaga untuk hal itu. Amin.

Setibanya di Yogya, di salah satu rumah keponakan Bapak, ketika Bapak menyampaikan maksud kedatangannya dan menyebutkan ini adalah amanah almarhum Ibu. Tanpa kami duga, Bapak sempat tidak melanjutkan kata-katanya. Aku kaget dan melihat ke wajah Bapak. Wajah lelaki tua itu, bergaris haru..pandangannya seketika kosong. Seakan meningalkan ruang tamu tu dan berlari sekencang-kencangnya ke suatu masa Bapak dan Ibu memulai sebuah kehidupan manusia yang di sebut keluarga. Suara Bapak tertahan.. ..ada hisakan tangis yang lirih..beberapa butir air matanya pun tak mampu terbendung..Lelaki tua berhati kaya itu yang hanya sekali menangis pada saat menyambut kepulangan Kak Tri dari Ambon mejelang pemakaman Ibu itupun menangis untuk kedua kalinya. Hanya sekian detik...namun sangat mempengaruhi suasana di ruangan itu. Semua keponakan bapak yang rata-rata usianya jauh di atas aku dan abang-abangku pun tak tahan menahan haru. Ada apa ini? pikirku. Jelas sekali kehilangan Ibu memang tak kan tergantikan..

Begitu juga dalam menyiapkan segala masakan untuk Idul Fitri. Di bawah koordinasi Kak Ririn maka mulai lah segenap perempuan yang ada di rumah Solo mulai bersibuk-sibuk memasak opor, gulai nangka, rendang dan sambal goreng hati. Para lelaki menyiapkan selongsong ketupat, membersihkan rumah juga sesekali menenangkan Banu atau Bagas ataupun Khalilla yang butuh "ruang gerak" untuk hak-haknya sebagai anak :) Hmm...capek tapi tetapi menyenangkan..Ibu, kami akan coba pertahankan tradisi menjamu keluarga yang datang dan tamu lainnya dengan masakan-masakan peninggalanmu.. :)

Esok harinya...kami sholat IED, sungkeman satu sama lain..dan ini lah yang menjadi agenda terbaru lebaran tahun ini..yaitu : Ziarah ke makam Ibu.
Khyusuk kami berdoa memohon ampunan Allah untuk Almarhumah Ibu. Semoga ditempatkan dalam keabadian Bahagia di Syurga..mohon kepada Allah agar kami yang ada seluruhnya diberikan semakin lebih baik dan bersyukur atas nikmat selama ini..Baru kali ini aku menangis di makam ibu..aku terbayang saat masa-masa kecilku...aku teringat beberapa nasehat Ibu..dan aku teringat saat terakhir dengan ibu...Aku sempat berbisik dalam doa.."Ibu, putriku Khalilla sekarang udah 9 bulan..sehat lucu..cerdas seperti Yangtinya..Aku bangga punya Ibu dan pasti akan selalu aku ceritakan kebesaran hati ibu kepada Khalilla..supaya diapun bangga dan berbudi seperti Ibu..Amien."

Taqoballahu minna waminkum
Minal 'Adin Wal Fadzin

Mohon Maaf Lahir & Batin

salam
@

Lentera Jiwa..sebuah nasehat dari Nugie

on Tuesday, September 2, 2008


Lentera Jiwa. Sebuah karya dari Nugie. Lagu dan lirik yang bagiku dahsyat sekali...
Teringat semua yang sudah aku lalui..masa kecil...remaja..hingga sekarang..
Perjalanan hidup manusia...penuh dengan misteri...
Terkadang kita hanyut dengan pernak-pernik kejadian yang terjadi..tanpa pernah mendengar kata hati kita..

Thxs Nugie atas "nasehat"nya


LENTARA JIWA

Lama sudah kumencari
Apa yang hendak kulakukan
Sgala titik kujelajahi
Tiada satupun kumengerti
Tersesatkah aku di samudra hidupmu

Kata-kata yang kubaca
Terkadang tak mudah kucerna
Bunga-bunga dan rerumputan
Bilakah kau tahu jawabnya
Inikah jalanku inikah takdirku

Chorus:
Kubiarkan kumengikuti suara dalam hati
Yang slalu membunyikan cinta
Kupercaya dan kuyakini murninya nurani
Menjadi penunjuk jalanku
Lentera jiwaku

Kubiarkan kumengikuti suara dalam hati
Yang slalu membunyikan cinta
Kupercaya dan kuyakini murninya nurani
Menjadi penunjuk jalanku
Lentera jiwaku

Kubiarkan kumengikuti suara dalam hati
Yang slalu membunyikan cinta
Kupercaya dan kuyakini murninya nurani
Menjadi penunjuk jalanku
Lentera jiwaku

Lentera jiwaku
Lentera jiwaku
Kupercaya dan kuyakini murninya nurani
Menjadi penunjuk jalanku

Lentera jiwaku
Lentera jiwaku
Lentera jiwaku
Lentera jiwaku...

Gay : Anomali dan Fakta (chapter 2)

on Friday, May 16, 2008


Pada chapter sebelumnya, aku sudah menceritakan sepintas kisah salah seorang tokoh dalam cerita ini. Ya, Slamet. Pria dengan penampilan kepala plontos ini tergolong senior di Jawa Tengah dengan memusatkan tajuk kerajaan gay-nya di Solo. Sangat menyenangkan jika berdiskusi dengannya. Sering kali aku terperangah, geleng-geleng kepala jika ia menceritakan entah fakta atau rumor fenomena gay di Jawa Tengah ataupun di Indonesia. Walaupun aku sangat paham dengan angka estimasi berapa jumlah gaya atau secara umum disebut sebagai MSM (men who have sex with men) yaitu tahun 2006 hingga sekarang jumlah mereka di Jateng adalah 8.739.988 jiwa (data estimasi MSM KPA Nasional, 2006). What's up buddy? Surprising about that? Compare with men population in central java. Here they are data from Susenas (Survey Social Ekonomi Nasional, 2006) penduduk laki-laki dewasa (>14 tahun) 9.262.783 jiwa dan (<14 tahun)5.490.902 jiwa. Woowwww.......



Ada satu buku yang menarik tentang gay di Indonesia. Salah satu buku karya Dede Oetomo "Memberi Suara Kepada Yang Bisu". Sebuah referensi kenyataan yang mengulas bagaimana perjuangan kelompok Gay di Indonesia. Bagaimana peta konstelasi perjuangan mereka di tengah hiruk pikuk kontroversi. Yang menarik juga bagaimana pandanganku tentang beberapa tokoh dunia seperti : Raja Iskandar Zulkarnaen dan Julius Caesar, filsuf Yunani klasik Plato dan Aristoteles, Boden Powell (bapak kepanduan / pramuka internasional), Michelangelo dan Leonardo da Vinci (pelukis). John Maynard Keynes (tokoh ekonomi neo-klasik), Michael Foucalt (posmodermis), Elton John (penyanyi), Fredy Mercury (terhitung sebagai bi-sex), Glanni Versace (perancang mode). Ia nyatakan, sejarah kaum gay di Indonesia pun telah ada sejak dulu kala. Hampir di setiap daerah dengan akar kebudayaan masing-masing hampir dipastikan aktifitas erotis gay ada di ruang budaya itu. Bissu dalam beberapa kegiatan ritual mistis di Makassar, Gemblak dalam dunia per"Warok"an di Ponorogo. Juga budaya laki-laki ningrat di Solo yang hobby memiliki "simpanan" lelaki-lelaki muda.

Informasi itu pun dilengkapi oleh kawan-kawan Gessang, bahwa hampir di semua lini kepentingan dan isu di daerah maupun nasional juga pasti ada kelompok "hemong" (sebutan gaul dari gay). Walikota? Ada. Artis? Banyak. Menteri? Ada. Pengusaha? Banyak. Aktivis LSM? Banyak...yukkk...hehehe.

Kembali ke tokoh cerita, Slamet dan kawannya Giyanto. Apresiasi kemanusiaanku mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang hebat. Mereka sangat terbuka atas status mazhab pecinta sejenis yang mereka anut. Sebuah pilihan hidup yang rumit. Aku memberanikan diri untuk melakukan indepth interview kepada mereka. Seorang Giyanto, adalah lelaki yang memiliki orientasi tampilan "kemayu".

Aku belum pernah membaca atau mendapatkan literatur dari buku, atau jurnal ilmiah manapun terkait dikotomi seksual, orientasi spesifik atau batasan libido seksual seorang gay. Jujur, hingga sekarang aku masih sering bingung, sebenarnya faktor-faktor apa saja yang menentukan hubungan inter-seksual maupun ideologis gay.
Kalau hanya sekedar empiris kasus dan kejadian lapangan lain, menurutku gay bukan hanya laki-laki yang tampak "kemayu" saja lho. Dalam kehidupan (seksual, gender, psikologis, sosial dan ekonomi), mereka membagi peran sebagai individu maupun yang sudah berpasangan ataupun dalam kelompok-kelompok mereka. Secara umum, peran gender-lah yang tampil sebagai indikator pembeda pada umumnya. Hingga, muncul 2 istilah gay feminim dan gay maskulin. Selanjutnya kebutuhan hidup mereka menyesuaikan dengan status yang mereka ciptakan tersebut. Misalnya : pasangan gay (terikat maupun tidak) pasti terdiri dari feminim dan maskulin. Yang hanya mencari partner untuk having sex saja, juga akan menyesuaikan dengan sifat yang ia miliki. Dalam arti kata, tidak sembarang laki-laki yang mereka inginkan. Seorang gay yang macho akan mencari pasangan yang kemayu, dan begitu juga sebaliknya. Hmmm...

Tapi bagaimana dengan gay yang bekerja sebagai pekerja seks? Atau sebutan lainnya adalah "kucing". Haruskah mereka bergonta-ganti peran gender mereka? Berakting? Kalau iya benar, luar biasa! Merekalah aktor yang tak pernah mendapatkan piala Oscar. Hmmm...Lalu bagaimana yang sudah memiliki pasangan hetero seperti istri? Beberapa kawan gay atau psikolog memang punya jawaban untuk hal itu. Karena kenyataannya jumlah mereka yang terperangkap menjadi makhluk bi-seksual ini juga tidak sedikit. Katanya, hampir 30% gay yang ada juga memiliki pasangan hetero tetap. Fuiihhhhh.....

Eiiit...Bagaimana dengan Giyanto tadi? Aku menanyakan kepadanya, dulu sewaktu ia memasuki masa "aqil baliq" remaja awal pernahkah ia mimpi basah? Ia pun menjawab mantap. Iya. Lalu aku lanjutkan, dengan pertanyaan: "dengan siapa?" Ia pun menjawab tetap dengan kemayu dan malu-malu : "isin aku mas, mbiyen aku mimpi "meong"nge karo wong wadhon." (malu aku mas, dulu aku mimpi "ML"nya dengan anak perempuan"). Wah..menarik juga nich pikirku.Alam bawah sadar seseorang laki-laki yang punya hasrat seksual dengan perempuan hingga terbawa dalam bunga tidur "awal kematangan seksual" namun di kemudian hari ia mencintai sejenis. Ataukah mimpi basah dalam herarki psikologi perkembangan itu hanya sebuah mitos? Ya sudahlah...

Lalu ceritanya pun berlanjut ketika masa remaja kerap ia habiskan dengan ngerumpi, kumpul-kumpul dengan teman-teman perempuannya. Dan lingkungannya selalu mengejek ia dengan sebutan : banci! Aku tertegun, dan segera ingatanku kembali di masa sekolah dulu. Aku teringat temanku: Najib. Teman satu kelas waktu di kelas 1 dan 2 SMA. Sering kali kawan-kawan termasuk guru memanggil ia dengan sebutan banci.Bahkan pernah satu ketika, pada saat jam pelajaran olah raga, Najib ditelanjangi kawan2 ku dan dipasangkan bra (bh) persis di dadanya. Persis tengah lapangan basket sekolah dan disaksikan murid2 lainnya. Hihihihi....kalo inget kejadian itu aku masih ketawa sendiri, dan jujur pada saat kejadian itu pun aku ikut tertawa. Astagfirallah....Tuhan, kalau tahu kejadian yang "menyenangkan" bagi kami saat itu ternyata adalah hal yang menjadi kontribusi terbesar dari dielektis disorintasi seseorang...pastilah kejadian di lapangan basket itu tidak akan terjadi. Najib, where are you now? maafkan kami ya...

Sekarang sudah 3 bulan ini Giyanto sedang membina hubungan "pacaran" dengan "BF" (sebutan gaul untuk pacar boy friend). Tetapi Giyanto menginginkan suatu saat nanti ia dapat menikahi seorang perempuan dan hidup "normal". Aku sangat kaget mendengar kisahnya itu. Kesimpulan ku sementara, Giyanto ini bukan gay. Ia hanya melakukan kegiatan seksual sesama jenis. Hanya pada aktifitas seksual. Dan dalam terminologi seksualitas : ia masuk dalam kelompok MSM. Bukan gay! Berbeda dengan Slamet yang memandang bukan hanya hubungan seksual sebagai indikator orang disebut gay. Gay adalah ideologis begitu katanya. Bukan hanya hasrat seks, tetapi pola pikir, tujuan hidup, hak dan aksi. Seorang gay harus memiliki pandangan hidup yang memperjuangkan hak hidup agar tidak ada lagi diskriminasi. Luar biasa...ternyata menjadi gay itu sulit. Bukan hanya kehidupan yang mereka lewati tetapi rukun syaratnya pun demikian. OK, tertarik?

wassalam,

@

Gay : Anomali dan Fakta (chapter 1)

on Thursday, May 8, 2008


Beberapa minggu yang lalu aku dan mas Bowo melakukan evaluasi proyek di sebuah yayasan yang dikelola dan berfokus pada masalah gay dan men who have sex with men (MSM) yang ada di Solo. Yayasan itu adalah GESSANG. Evaluasi yang kami lakukan adalah kegiatan yang cukup penting. Mengingat akan menentukan hubungan kemitraan lembaga dengan mereka untuk tahun kedepan. Ada diskusi intens dengan membongkar data capaian performance hingga turun ke lapangan melihat proses para outreach worker bekerja. Ada satu pengalaman menarik dimana pada saat melakukan evaluasi kali itu.

Sore itu, setelah sesi selesai aku sengaja bersantai-santai dengan mas Bowo dan dua teman dari Gessang, yaitu Selamet dan Giyanto. Slamet yang aku kenal adalah salah seorang tokoh gay di Solo yang telah merintis perjuangan hak kaum gay sejak tahun 1996. Mengawali aktifitas sejak di Surabaya yang sebelumnya bergabung dengan kelompok GayA Nusantara. Yaitu kelompok gay kaliber nasional yang dimotori oleh Dede Oetomo seorang doktor antropologi di salah satu perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia. Aku mengenal Slamet sudah 2 tahun lebih. Mendengar cerita-cerita tentang kiprahnya, terus terang aku salut. Sebuah proses pengungkapan jati diri dan kelompok yang kerap mendapatkan respon negatif dari kelompok masyarakat lain yang menganggap dirinya paling benar.


Perjuangan yang tak henti-hentinya menuai hujatan, kecaman, intimidasi, teror bahkan ancaman pembunuhan. Bahkan, pernah ada satu cerita ia dan beberapa ”senior” (sebutan ”junjungan besar” bagi gay kawakan yang aktif atau bahkan progresif lebih dulu) di tahun 1999. Beberapa kelompok agama yang ”fundamental” (istilah ini sebenarnya saya tidak cocok, karena seolah membenarkan aktifitas ”barbar” mereka yang mematikan kelompok lain dan menganggap mereka paling benar) menyerbu sebuah hotel di kawasan Solo dengan tujuan mencari kelompok gay yang tengah mengadakan pertemuan penguatan jaringan. Yang mencengangkan, bahkan mereka bertingkah seakan-akan kerasukan ”roh srigala tengik” berniat membunuh para kelompok gay itu dengan fatwa : Halal!.

Tidak hanya berhenti di waktu itu saja. Banyak teror yang mereka alami. Terakhir adalah ketika di tahun 2006, mereka mengadakan kegiatan dalam rangka hari AIDS sedunia. Acara itu dikemas seperti : ajang pemilihan ”miss universe” peduli AIDS yang diikuti oleh kelompok gay dan waria di Solo. Serbuan dan intimidasi secara fisik (tentu saja secara berdampak pula secara psikologis) dilakukan oleh ”laskar” yang menggunakan simbol-simbol agama tertentu dan menggunakan istilah yang identik dengan nama milisi Afganistan yang dibiayai dan dilatih oleh Amerika ketika melawan ekspansi Uni Soviet di Timur Tengah yang akhirnya beberapa tahun terkahir ini justru sibuk dihancurkan oleh Amerika karena dituduh sebagai biang teroris. Sekitar seratus-an orang berjubah dan bersenjatakan alat pukul dan senjata tajam itu menyerbu kegiatan yang sedang berlangsung. Kebetulan, aku juga ada di sana dan menyaksikan dengan mata kepalaku. Sebuah pertemuan kultur dan peradaban yang menggunakan konflik sebagai cara pandang. Fenomena kontroversi yang mengedapankan nilai kekerasan sebagai pilihan. Namun sontak selesai hanya dengan produk manusia yang membuat manusianya sendiri menjadi gila. UANG!

Ya, uang sebesar Rp. 500 ribu adalah peredam amarah dan kedengkian sekelompok orang yang berteriak-teriak menyebut nama Tuhan mereka. Uang adalah embun pelepas dahaga di kemarau iman yang panjang. Uang adalah Tuhan sesungguhnya Apakah ini yang disebut distorsi nilai manusia akan agamanya? Aku pernah membaca “Sexual Morality : in the world’s religions” karya Geoffre Parrinder yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Teologi Seksual”. Buku itu sangat menarik membahas bagaimana agama-agama di dunia memandang seksualitas termasuk beberapa perilaku seks yang ada. Dan rasanya, tidak ada satupun agama (dalam perspepsi kitab sucinya) yang membenarkan teror terhadap kontroversi seksualitas.

Ada persoalan hidup yang menyelimuti perjuangan kelompok gay ini. Menurutku, masalah mereka bukan sekedar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Ekonomi, sosial, bereligi, berbudaya, bahkan akifitas seksual. Persoalan hidup mereka secara lebih mendasar “diganggu” oleh esensi dasar kehidupan manusia yaitu seksualitas. Orientasi seksual yang secara umum dianggap menyimpang inilah yang mengawali penolakan awam terhadap kaum pecinta sesama lelaki ini. Sepintas, hasrat kebutuhan mereka hanya seputar hubungan seks. Kalau boleh menggunakan istilah lainnya adalah “ideologi mulut dan pantat”. Tetapi, jauh lebih dalam terjadi penganutan pemahaman yang telah meng-ideologis bagi sebagian dari mereka. Sehingga, tuntutannya tidak lagi sesederhana di atas. Mereka menjelma sebagai sesungguhnya manusia yang menghendaki hak-hak dasar sebagai manusia di tengah intimidasi sosial. Mereka memperjuangkan yang sesungguhnya hak dasar sebagai manusia, yaitu apresiasi dan pengakuan atas keberadaan mereka tanpa diskriminasi. Memandang kelompok mereka sebagai esensi manusia seutuhnya yang tidak dibatasi ruang publik dan segala akses pemenuhan hak-hak sebagai manusia.

Perjuangan yang ama panjang. Walaupun beberapa negara di Eropa melalui salah satu majelis gerejanya telah memberi restu pernikahan bagi kaum homoseksual. Ternyata belum cukup untuk bernafas lega. Negara Eropa dan Amerika Serikat tercatat secara statistik angka kekerasan masyarakat umum bahkan aparat publik kepada kelompok gay dan homoseksual lainnya selalu meningkat. Setiap tahun selalu ada peningkatan 10-15 % kasus kekerasan terhadap kelompok homoseksual ini. Menjadi menarik proses ini. Karena ditengah upaya penegakan humanisasi kaum homoseksual ada trend relasi kekerasan yang cenderung meningkat. Apakah masyarakat hingga saat ini belum menerima? Bagaimana dengan Anda? Lalu bagaimana cerita kawan Selamet dan Giyanto selanjutnya? Bersabar ya, semoga ada next chapter.

Wassalam,

@
NOTE : Kata GAY untuk judul dalam posting ini saja sudah diblokir oleh Telkomnet dan Indosat.

Vagina Perempuan : Milik Negara!

on Monday, May 5, 2008

Kondom perempuan? Pasti kawan-kawan sudah pernah mendengar atau melihat produk itu. Sebenarnya hal ini bukan hal baru, kalau dicermati perjalanan program KB di Indonesia mulai dari tahun 1971 hingga 2000, laju pertumbuhan penduduk sangat bisa terkendali (1971-1980 laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,32 %, antara tahun 1980 dan 1990 mencapai 1,97 %, dan tahun 1990-2000 menjadi 1,5 %. Data BKKBN 2000). Ya, dengan mensyaratkan : PEREMPUAN SEBAGAI TUMBAL!


Entah berapa alat KB yang didesign dan dicekoki untuk perempuan. Mulai dari IUD-T dengan reaksi negatifnya bagi tubuh antara lain : erosi leher rahim, dan kegemukan (maaf bukan "gemuk" dari perspektif phisycly lho..tapi faktor kesehatan), tubectomy..pil KB, suntik..hingga era kondom perempuan????. Kalo di tahun 80-an di hampir seluruh daerah pedesaan Indonesia..kaum perempuan dipaksa untuk menggunakan "susuk" KB dengan pengawasan polisi, babinsa hingga toma dan toga!!!!. Sangat represif!!!! Negara menganggap perempuan Indonesia adalah properti-nya. Selalu bisa dikontrol. Bahkan hak2 reproduksinya pun dikontrol oleh negara.

Dalam perspektif program penanggulangan HIV/AIDS, sekian belas tahun program diperuntukkan bagi WPS dengan pendekatan kondom (kondom laki-laki). Tetapi bagaimana hasilnya? Apakah sudah dapat membendung laju epidemi IMS atau HIV? Hampir di beberapa lokasi di Jawa Tengah angka IMS-nya masih pada kisaran 80 - 90% positif...ya tentu saja bukan karena hal "kondom laki2 pada WPS" tetapi mungkin juga karena kebijakan "obat program" oleh rejim medis di berbagai puskesmas dan kinik IMS yang ada menggunakan antibiotik yang sudah resistan dengan IMS.

Pendekatan kepada WPS tersebut sebenarnya pun dalam rangka mengintervensi pelanggan WPS, karena yang dilakukan bagaimana teknik negosiasi dan promosi penggunaan kondom kepada pelanggan. Sekian lama hal itu terjadi dan tidak membuahkan hasil yang sesuai harapan. Dan selama itu juga perempuan yang berprofesi sebagai WPS dieksploitir oleh mucikari, negara, bahkan LSM sebagai konsekwensi promosi kondom dengan jalan pintas yaitu : WPS lah yang membeli kondom, mereka yang mempromosikan kepada pelanggan dan pabrik kondom lah yang untung...epidemi IMS/HIV jalan terus!!!!!!!!!!!

Kondom perempuan? Berpihak pada perempuan kah atau justru semakin mengeksploitir posisi perempuan..ataukah benar "vagina ini milik negara???"

wassalam,

@

Katarsis

on Thursday, May 1, 2008

Mingu ini, aku dan officer FHI lainnya dari Jakarta, Kepri dan Jatim melakukan fasilitasi staf lapas/rutan untuk wilayah2 tersebut di Yogya. Kali ini menyasar pada peran media komunikasi-informasi-edukasi, khusus lapas/rutan. Bagiku, ini merupakan sebuah proses pelatihan yang unik. Unik, karena kami sebagai fasilitator tidak menggunakan batasan referensi terlebih dahulu, hanya berbasis pada sebuah tujuan. Yaitu "bagaimana para staf lapas itu mampu memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menggunakan dan mengembangkan media sebagai alat komunikasi&edukasi di lapas". Setiap dari kami, dengan sangat bersemangat berusaha menggagas konsep dan mencipta implementasinya 12 jam sebelum pelatihan 3 hari itu dimulai. Dan ternyata, cara "edan" itu pun cukup berjalan secara memuaskan. Indikatornya adalah : peserta merasa puas menerima beberapa input dan update informasi plus skill dengan metodologi andragogi yang mempersilahkan segala potensi yang mereka miliki (individu maupun kelompok) dielaborasikan dengan tujuan tiap sesinya. Lalu, puas dirasakan dari kami sebagai fasilitator yang telah membawa peserta terlibat penuh sehingga melebihi dari espektasi tujuan umum pelatihan..(kalau profesional fasilitator pasti sudah sibuk memencet kalkulatornya, untunglah kami ini hanya buruh upahan bulanan..hehe).


Senang, puas, ringan dan menyegarkan. Kesimpulan itulah yang aku dapat dari proses pelatihan itu. Namun yang ada beberapa hal yang "mengganggu" sekaligus "memuaskan" di luar rangkaian sesi itu. Kebetulan aku bekumpul dengan kawan-kawan dari propinsi lain yang kadang optimis tetapi tidak kalah seringnya pesimis menghadapi urusan program, birokrasi, komunitas, advokasi, sumber daya LSM, perda, aturan-aturan lokal lainnya semua hantu belau terkait HIV & AIDS. Di saat-saat tertentu kami sering melakuan pembicaraan.Tidak hanya aku yang gelisah. Keputus-asaan tampak jelas menjadi atmosfer diskusi hangat kami. Tapi tidak jarang juga luapan ide, imajinasi, mimpi dan kemarahan atas kebijakan atas sistem pun saling kami lontarkan. Yang kesemua itu mengarah pada : PERUBAHAN!. Perubahan yang kami maksud dimulai dari : teknis sasaran program ini, siapa melakukan apa, dimana, kapan, bagaimana hingga perubahan sistemik kebijakan negara atas situasi ini saat ini dan kedepan.

Fuihhh.......panjang sekali dan sedikit melegakan. Lontaran-lontaran ide dan makian buruh-buruh proyek USA atas negeri ini pun tampak bersemangat. Bahkan beberapa kali kami pun membayangkan langkah-langkah bijak pada yang harusnya dilakukan oleh lembaga ataupun negara donor / penyumbang. Kalimat conditional yang lebih banyak kearah tipe II dan III, dalam tata bahasa pelajaran bahasa Inggris menyebutnya. Yang intinya : lebih banyak mustahilnya...If i could being the donors, i would...bla..bla... hehehe....

Sekali lagi yang aku dapatkan di Yogya, adalah kesenangan. Senang bisa membicarakan diri sendiri dan orang banyak atas kerja yang tak kunjung usai ini. Melepaskan kemarahan, ketidakpuasan, mengakui kekuatan kelompok-kelompok lainnya (yang selama ini dianggap "pesaing"), berharap-harap atas perubahan, mengakui kebrengsekan sistem dan jujur atas kebodohan selama ini ternyata..sangat menyenangkan! Melegakan! Sangat membebaskan! Haaahhhh...........Walau hanya sejenak. Sangat sejenak. Karena tidak kalah sekejap, kenyataan menyuguhkan ketertidakpihakan pada orang-orang seperti kami atas kondisi ideologi dan intelektual yang terjajah. Karena faktanya : kebijakan para cukong kami masih membidik dan mengintervensi "hilir" atau "dampak" dari rangkaian proses ketidakadilan sosial ini sebagai "setoran" kerja kacung-kacung mereka. Kebijakan yang absurd!

Setidaknya aku dan kawan-kawan masih bisa ber"katarsis"..semoga
Selamat Hari Buruh!

wassalam

@

Rindu ini, hebat sekali..

on Tuesday, April 22, 2008

Minggu-minggu ini aku disibukkan dengan beberapa urusan pekerjaan. Bersama tim membahas dan merancang bagaimana urusan dengan NGO dan pemerintah kedepan terkait persoalan yang tak kunjung terang, HIV & AIDS. Pusing dan lelah juga ternyata. Tetapi sekejap perasaan invalid itu selalu sirna dengan adanya senyuman Khalilla. Bayi itu seolah men-charge-ku dengan energi bermaha-maha daya lagi. Menggendong, memandikan, mengganti popok, mendongengkan cerita-cerita (mulai dari serius sampai yang membuat Nina terpingkal-pingkal), hingga menidurkannya. Kegiatan “rumah” yang sangat memberikan makna bahagia.


Memandang Khalilla, kerap kali terlintas wajah almarhumah Ibu. Ya, gambar itu melintas jelas dan selalu dengan senyum hangatnya. Seringkali beberapa detik aku tertegun, merasakan waktu benar-benar terhenti, telingaku terasa tuli, sangat sepi. Sekian detik yang membawa pikiranku ke wajah perempuan yang telah melahirkanku, meregang nyawa demi anak-anaknya, membesarkan, mengajarkan arti budi pekerti, memperdendangkan pertamakali ditelingaku sebuah gubahan manusia yang disebut lagu. Wajah ibuku. Perempuan jawa yang sangat luhur, sangat memegang prinsip kejujuran, yang memiliki keteguhan hati yang ia yakini hingga kapanpun. Ibuku yang sangat aku banggakan.

Aku masih ingat sekali, keteguhan Ibu tetap memakai kain kebaya jawa padahal kami tinggal di ranah Melayu yang sangat plural. Kata abangku, dulu ia sempat melewati masa malu karena ibu yang berkebaya. Tetapi malu itu berubah menjadi perasaan bangga setelah ia mulai dewasa apalagi sekarang. Benar-benar menunjukkan eksistensi kemandirian di tengah hegemoni budaya yang bermacam. Jati diri perempuan jawa yang cerdas dan tegar. Sekian detik yang benar-benar membawaku ke masa-masa kecil. Melihat ibuku dengan kebayanya, jarik, setagen (kain lingkar perut atribut kebaya), dendangannya, masakan-masakan khas ibu, gethuk dan agar-agar buatan ibu, cerita lucu dan cerita-cerita muda ibu, semua…semua…ya semuanya tentang ibu. Tanpa terasa pun mataku yang menerawang berjuta-juta kilometer itu basah oleh air mata. Air mata kerinduan. Rindu seorang anak akan ibu kandungnya.

Kemudian kesunyian yang membahagiakan itupun sirna ketika Khalilla merengek manja seolah meminta aku terus bercerita bagaimana nasib pekerja seks, pecandu madat, narapidana, waria dan gay dengan ancaman HIV jika tempatku bekerja suatu saat tiba-tiba berhenti dan negara tetap tidak peduli. Cepat besar ya Lil :)

Wassalam

@

Siapkah kita disapih?

on Monday, April 21, 2008

Sapih? Kata ini tentunya tidak asing bagi kita. Orang melayu apalagi, mereka akan langsung mengangguk paham. Secara sederhana kata ini dapatkan digunakan oleh manusia atau hewan yang menunjukkan : kondisi setelah masa disusui.

Disusui? Nosi di dengan akhiran –i itu menunjukan ada pihak yang tidak berdaya, kemudian dibantu memberikan air susu. Air susu, ditengarai sebagai sumber kehidupan, penting, vital, pokok, apa sajalah yang mengandung makna penopang kehidupan. Perkembangannya kemudian, kata sapih pun dapat luwes dan pantas digunakan dalam berbagai subyek ataupun obyek dalam berbagai kalimat. Misalnya, dalam kalimat berikut : ”Satu minggu setelah bayi disapih, biasanya ia akan mengalami masa penyesuaian normal yang ditandai dengan diare ringan.”


Hingga kata ”sapih” itupun baru tadi siang kembali menghiasi isi kepalaku. Ya, segenggam massa protoplasma yang sangat kompleks (meminjam istilah ilmuwan Hodgkin dan Huxley) ini pun jadi pening memikirkan kata dan makna: SAPIH!

Kita masih dijajah
Kebetulan, pekerjaanku adalah lembaga internasional yang menjadi ”broker” dari konstelasi program penanggulangan HIV & AIDS pemerintah dan beberapa LSM di Indonesia. Seperti pepatah Melayu : ada persuaan akan ada pula perpisahan, maka dalam situasi sekarang setelah 5 tahun project ini berlangsung, akan ada beberapa LSM mitra dan pemerintah yang akan selesai kontraknya dengan pihak kami. Hal yang lumrah harusnya. Ya seharusnya memang harus lumrah! Tapi kenyataannya situas ini menjadi situasi yang membingungkan sekaligus memuakkan. Semisal : kebingungan itu terjadi di sebuah kota yang memiliki beberapa puskesmas yang sangat potensial secara sumber daya termasuk akses geografis dengan lokalisasi tempat tempat penghidupan pekerja seks perempuan.

Selama ini di lokalisasi itu, kebutuhan pemeriksaan kesehatan reproduksi, IMS bahkan test dan perawatan HIV dilakukan oleh klinik LSM yang kami bantu. Bantuan yang sangat jelas perjanjiannya, bahwa diakhir project situasinya harus berubah. Perubahannya adalah : masyarakat lah yang akan memerankan pendekatan akses layanan kesehatan dan pemerintah lah yang akan memfasilitasi keadaan tersebut. Namun faktanya adalah : semua pihak belum siap menghadapi situasi ”merdeka” ini. Fakta yang sangat menyakitkan, ketika sang negara lewat pejabat dinas kesehatannya mengatakan bahwa puskesmas belum sanggup melakukan peran itu, walaupun sudah mampu secara teknis. Hanya waktu kerja mereka dan porsi layanan kesehatan untuk masyarakat umum harus lebih diutamakan. Untuk point terakhir aku sangat setuju dengan statement nya. Lagi pula siapa yang inginkan mengorbankan kepentingan masyarakat umum.

Pun, sebenarnya 450-an populasi pekerja seks perempuan di lokalisasi itu adalah warga negara yang sedang sakit ini. Yang juga berhak mendapatkan layanan kesehatan. Berhak dilindungi. Hak-hak yang universal yang sudah capek-capek dibahas dalam produk tua ”universal declaration of human rights”. Ataukah pejabat itu sebagai representasi negara telah mengkotak-kotakan warganya menjadi beberapa kelas. Sifat yang sangat menusiawi, memandang manusia dalam kelompok-kelompok (biasanya para psikolog dan filsuf yang hobi melakukan ini).

Lalu dimana LSM tadi yang membantu kesehatan di lokalisasi itu selama ini? Faktanya : mereka sibuk akan menyelamatkan diri masing-masing jika project dengan lembaga donor ini akan berakhir. Realitas yang absurd, tetapi klasik. Ya, semuanya terjebak dalam perspektif sempit PROJECT. Hilang sudah teori sosial yang aku pahami. Salah satunya, ya, Habermas, seorang filsuf besar Jerman kontemporer, ketika ia telah mendefinisikan civil society sebagai ruang diskursus bebas dari intervensi negara. Sebagai ruang bebas, civil society mengandalkan kepada kreativitas, inovasi, dan keswadayaan guna mempertahankan eksistensi dan perkembangannya.
Oh Tuhan, hal itu sama sekali tidak terjadi. Yang terjadi adalah : fenomena menghamba pada materialisme candu asing yang membuai orang-orang yang mengaku LSM itu menjadi mapan...mapan...jauh dari realita sosial bahwa harusnya resah, gelisah melihat tidak berjalannya sistem tatanan masyarakat madani. Malah disikapi juga dengan keresahan, resah karena project-nya akan berakhir. Astagfirullah.

LSM : bingung peran?
Agak teoritis sedikit ya. Konon ada seorang sosiolog AS, Robert Wunthow, mengemukakan teori three sectors model atau model tiga sektor. Dalam teori tersebut seluruh masyarakat itu dibagi menjadi tiga sektor, yaitu sektor swasta, atau sektor pasar (market sector), sektor negara atau masyarakat politik (sama dengan teori Antonio Gramsci) dan sektor volunteer yang disebut juga sektor ketiga (the third sector).

Pilar-pilar utama sektor negara adalah lembaga-lembaga kenegaraaan seperti DPR/D, pemerintah dan lembaga pengadilan, pilar utama sektor pasar adalah perusahaan-perusahaan, termasuk bank-bank. Sedangkan pilar sektor ketiga adalah LSM atau lembaga gerakan masyarakat baru (new social movement). Di ketiga sektor itu berlaku nilai-nilai yang berbeda. Sektor negara berlaku prinsip kekuasaan yang memaksa (coercion), dimana negara, seperti dikatakan oleh Max Weber, memiliki monopoli dan otoritas dalam menjalankan kekerasan guna menegakkan hukum dan peraturan-peraturan. Misalnya dalam menarik pajak, menjamin berlakunya perjanjian dan menjaga keagamaan. Nilai utama sektor swasta adalah mekanisme pasar untuk mendapatkan keuntungan (market mechanism for profit). Sedangkan prinsip sektor ketiga adalah kesukarelaan (voluntary), non profit dan non-coersive. Masing-masing sektor bekerja secara mandiri, tetapi saling berinteraksi.

Dalam kasus lokalisasi di atas, negara, LSM dan sektor swasta dalam hal ini pemberi jasa kesehatan misalnya klinik swasta atau justru bagian fund rising dari LSM tadi sama sekali tidak menjalankan perannya. Apakah ini yang dikatakan sebagai : project syndrome. Sindrom LSM yang hanya semata-mata melakukan project! Dan sekali lagi masyarakat yang dikorbankan.

Jadi, ternyata kita belum siap untuk disapih. Selamat :)

Wassalam

@

Ebony & Ivory

on Wednesday, April 16, 2008



Jari-jari mungil anak perempuan 9 tahun berambut keriting exotic itu menari licah di atas deretan tuts keyboard. Sedangkan dentingan balira dengan nada-nada jazz fusion dari anak yang lebih kecil pun memberikan ornamen yang sangat rancak. Masih dalam atsmosfer keindahan alunan irama di ruang lobby hotel itu, tak luput dari panca inderaku tampak seorang laki-laki beruban tebal berusia sekitar setengah abad, memainkan dawai gitar akustik dan sesekali saksofon dan flute. Bukan hanya memainkan 3 alat musik itu, tampak jelas lelaki itu yang belakangan aku tahu namanya yaitu Joko juga berperan menjadi conductor dari pertunjukan 3 anak manusia yang diberi kemampuan bermusik yang luar biasa itu. Terlihat setiap akan pergantian musik, lelaki itu harus menggunakan gaya persuasive meminta 2 gadis cilik itu bersepakat algu apa yang akan dibawakan selanjutnya. Si keci sering tampak ekspresif jika setuju atau pun tidak setuju atas usul lagu yang akan dibawakan. Khas sekali anak kecil yang menginginkan atau menolak sesuatu. Dan dengan sabar lelaki itu menyikapinya dan tidak butuh waktu lama segera. alunan instrumentalia sang George Benson pun semakin menghingarbingarkan ketakjubanku.


Hingga dari obrolan ku dengan Joko, diketahuilah ternyata sang keyboardist adalah anak perempuannya yang bernama Classica. Sedangkan gadis mungil satunya yang lucu 6 tahun dan sangat lincah memainkan balira, jimbe dan beberapa alat musik pukul lain itu bernama Jazz. Nama-nama yang tak mengherankan dari apa yang mereka tampilkan barusan. ”Kedua anak itu sejak dalam kandungan ibunya sudah saya dperkenalkan dengan musik klasik.” Begitu ujarnya membuka obralan dengan ku. Menurutnya, dari musik klasik kita bisa belajar banyak hal terkait dengan kedisiplinan, sebuah pakem, keharusan yang menghasilkan keindahan. Sambil melanjutkan ceritanya, lelaki ramah yang juga berprofesi sebagi guru musik itu berkomentar bahwa menurutnya, walaupun musik klasik itu bagi sebagian pemusik adalah filsafat dari segala musik berbeda dengannya. Ia mengatakan bahwa jika hanya focus pada musik klasik, seseorang tidak akan menjadi kreatif. Hari-hari bermusiknya akan selalu terjebak pada notasi dari partitur saklek milik maestro-maestro termasyur tempo dulu. “Mereka tidak akan berani menampilkan nada-nada imajinatif dalam otak kanan mereka karena partitur notasi Mozart dan Sebastian Bach telah mempengaruhi logika bermusik dari otak kirinya.” Jelasnya.

Kemudian musik jazz, etnik jawa atau tradisional lainnya hingga genre musik pop berkualitas, ia pilih sebagai media kreatif bagi ia dan anak-anaknya. Tidak pernah ada paksaan untuk anak-anaknya harus bermusik seperti apa. Ia hanya memberikan dasar-dasar logika bermusik yang kemudian melalui proses demokratis yang sangat partisitoris ia dan anak-anaknya akan menentukan jenis musik apa yang akan dibawakannya. Sangat menarik ngobrol dengan bapak 3 anak ini dan ternyata istrinya pun berasal dari dunia musik juga. Istrinya adalah mantan murid les musiknya dulu. Sebuah keluarga yang kaya akan apresiasi akan bermusik.
Dan alhasil dengan keyakinannya membangun rumah tangga baik secara nilai karakter dan penghidupan financial, keluarga itu sangat menikmati. Music has mean everything all of they life. With music they can survive. With music they’ve made a harmony of life, as : Ebony and Ivory.

Malam itu adalah malam yang sangat inspiratif bagiku. Malam pecerahan di sebuah kota Salatiga. Terimakasih pak Joko, Classica dan Jazz.

wassalam

@

Saturday I'm in LOVE

on Sunday, April 13, 2008


April, 12 - 2008 Sabtu? Hari ini terasa sangat berbeda dengan hari-hari lain. Senang, burn out, santai...wah terbayang sudah momen istirahat bagi sebagian besar buruh termasuk aku. Kalau boleh membandingkan, aktifitas di hari sabtu saat masih bujang dengan sekarang (sudah beranak pinak) tentu saja jauh berbeda. Saat bujang, sabtu bisa dihabiskan dengan tidur seharian, bermalas-malas wah...pokoknya benar terkesan looser lah, hahaha..Tapi setelah menikah apalagi bertambah peran menjadi ayah, pemaknaan sabtu adalah tetap dengan tanggungjawab. Mulai dari mengantarkan istri yang juga buruh sales administrasi di perusahaan milik kapitalis Korea di kawasan pelabuhan. Menemani mertua yang datang berkunjung (dengan alasan tengok cucu). Arisan bapak-bapak di kampung yang mayoritas kumpulan pensiunan pegawai negeri (yang ampun! Terbayang ketika mereka dulu bekerja pasti juga tidak genah untuk negara brengsek ini).


Yah..ternyata intervensi masa memang memberikan pengaruh pada manusia untuk memaknai dan menjalankannya. Dulu dan sekarang tentu saja berbeda. Walaupun terasa ada hal-hal yang tidak menyenangkan atau tepatnya membosankan, tetapi memberikan ketertarikan tersendiri bagi aku. Kalau teman kantorku, Mas Huda yang juga mantan wartawan TEMPO, selalu mengatakan : ”Saya sangat kagum dengan sikap Tamara (Blezinsky) yang aktris itu, ketika diwawancarai salah satu infotainment.” katanya. Dengan suara beratnya yang khas, mas Huda mencoba menirukan statement aktris yang kebetulan janda yang amboi cantiknya itu. ”Jika kau tidak bisa merubah keadaan, rubahlah cara pandangmu terhadap keadaaan itu!” begitu katanya. Aku selalu tersenyum jika ia mengatakan itu. Yah ada benarnya juga. Kalau kaum NLP (neuro lenguange program) bilang itulah : REFRAMING! Membingkai suatu persepsi yang lain dengan usaha mencari hikmah! Wow, wisdom...wisdom....Well come to optimism club!Maka segala kegiatan di sabtu akhir pekan dengan statusku sekarang adalah : everything is enjoy, although tired. Hahaha...

Rumah di Pagi Hari
Seperti sabtu minggu ini misalnya. Untuk sekian kali, aku telat menjalankan perintah Tuhan (yang kebetulan aku yakini) untuk subuhan. Aku yakin muadzin adzan subuh masjid pun sudah kembali tidur. Subuh yang harusnya dilakukan pukul 04.00 wib baru aku ladeni di pukul 06.00 wib. Panggilan sholat yang konon sejarahnya dibawakan dengan merdu oleh seorang budak belian pilihan Rassulullah bernama Bilal. Namun bagiku adzan di kampungku sama sekali tidak ada merdu-merdunya. Suara speaker masjid itu terdengar meraung-raung parau bagai burung rangkok jantan yang akan membuahi betinanya. Tapi itulah wujud kerukunan beragama di kampungku sekarang yaitu toleransi beragama yang harus dibayar mahal oleh kelompok agama lain. Tuhan memberkati :)

Khalilla buah hati kami telah asyik bermain dengan bundanya. Tampak ramah ketika namanya aku panggil. Matanya yang bulat memancarkan keriangan dan seolah berkata dan mengingatkanku: ”Ayah hari ini hari sabtu lho, inget nanti nganter bunda kerja, terus nanti menjelang tengah hari main-main lagi denganku, gantiin popokku eh jangan lupa, harus sering gendong aku yang hampir 7 kilo ini. OK, yah? Deal?” Senyum dan ocehan makhluk 3 bulan itu memang yang selalu kami nanti, tampak puas dan menggemaskan di antara payudara istriku yang selalu menjadi pusat gravitasinya. Alhamdulillah, ASI dari Nina selalu mencukupi nutrisi bayi gempal kami ini. Aku sangat salut pada istriku. Dengan penuh ketelatenan setiap berangkat kerja tak lupa ia membawa seperangkat alat : pemeras susu lengkap dengan botol-botol penyimpan dan termos es sebagai wadah. Senin sampai jum’at, peralatan itu selalu ia bawa dan kegiatannya adalah : setiap jam istirahat selama 1 jam ia selalu menyendiri untuk memeras ASI.

Tekun dan penuh keikhlasan. Gila, tidak terbayangkan bagi bagiku peran seorang ibu memang luar biasa, mengandung, melahirkan, menyusui, mendidik, menjadi sahabat sekaligus guru bagi anak-anaknya selain mitra yang equal dengan suaminya. Luar biasa, aku memandang istriku secara fisiologis telah menciptakan kerja-kerja kelenjar mamme lengkap dengan semua alveolus bersenyawa dengan darah keibuannya. Sehingga air yang mengadung protein sebagai antibodi dan nutrisi kebutuhan bayi sebagai mukzizat Tuhan itu pun keluar dengan lancar.Aktifitas selanjutnya adalah yang paling menyenangkan bersama Khalila, yaitu : Time To Bath! Melihat wajah mungilnya yang lucu yang selalu senang berada di dalam air yang membawa memorinya saat berenang di air ketuban kandungan bundanya. Ia sangat antusias, ya terlihat dari suara-suara lucu yang ia keluarkan, gerakan aktif kaki dan tangan yang menghentakkan air yang menggenanginya. Menggemaskan sekali. Aku dan Nina pun terbawa dalam kegembiraan, sambil selalu bercakap-cakap dengan Khalilla seolah-olah kami terlibat percakapan dan saling memahami.

Meninggalkan Rumah
Tepat pukul 7.30 wib, aku pun mengantarkan Nina ke tempat kerjanya. Waktu tempuh dari rumah kami sekarang di Banyumanik ke tempat kerja Nina sekitar 45 menit kalau naik sepeda motor. Jika pakai mobil hanya 30 menit melintasi 23 km dengan harus bersilahturami plus membayar hingga 2 kali kepada penjaga pintu tol. Gaya hidup kami dilihat dari jarak tempuh rumah dengan pekerjaan, sudah seperti kaum post urban saja. Hahaha..Kali ini sengaja aku menggunakan sepeda motor, karena hari ini aku memang akan men-service motor buatan Jepang itu ke bengkel. Apalagi setelah Nina pindah di tempat kerjanya sekarang, setiap malam setelah pulang kerja terpaksa aku harus mencuci mobil. Ya, faktanya seluruh jalan menuju kawasan pelabuhan Tanjung Mas selalu digenangi air laut yang pasang ke darat (orang-orang menyebutnya dengan istilah : rob). Air laut yang kandungan garamnya tinggi itupun dapat berdampak korosit (pengaratan) pada besi. Termasuk besi mobil, sepeda motor ataupun rangka bangunan yang ada di kawasan tersebut.

Sebagai contoh jalan utama menuju pintu I pelabuhan Tanjung Mas yaitu jalan Ronggowarsito, busyet! Genangan air sepanjang 200 m dengan kedalaman hampir setengah dari tinggi ban mobil itu pun lebih pantas dikatakan sebagai pantai. Gila! Itu fakta pembangunan yang terjadi lebih dari 5 tahun! Ibu kota propinsi taik kucing apa ini###@@@@!!??? Semua jalan menuju pelabuhan industri dan penumpang terbesar di Jawa Tengah itu digenangi rob. Padahal fungsi pelabuhan inilah yang menjadikan Semarang ini sebagai kota industri, pelabuhan perniagaan yang di dalamnya ada beribu buruh dan pejabat mengandalkan periuk nasinya. Lebih dari 50% pendapatan aset daerah (PAD) diperoleh dari kawasan tersebut. Gila! Gila! Pejabat ibu kota ini yang namanya Walikota dan aparat nya memang hanya seonggok daging busuk dengan hati penuh belatung dan otak yang tak lebih sebesar biji taik kumbang! Mereka tidak pantas dikatakan sebagai abdi masyarakat! Sungguh tidak pantas! Huhh! ????????? Hmm....ketika membicarakan negara, aku selalu menjadi kaum apatis! Brengsek, ternyata negara ini juga mempengaruhi cara berpikirku. Hahaha....belum katam juga aliran optimisme dalam pikiranku.

Eureka!
Dan sama. Hari ini ketinggian genangan air adalah setinggi betis orang dewasa. Setelah lumayan bersusah payah melewati pinggiran jalan dipenuhi bebatuan kasar, sekitar pukul 08.30 wib akhirnya sampai juga di kantor Nina. Setali tiga uang! Karena kompleks perkantoran yang hampir semuanya adalah perusahaan forwarding dan shipping milik asing yang berkantor cabang di kawasan pelabuhan itu pun tak luput dari genangan air laut. Yah sudahlah..malas aku membahasnya.

Setelah mengantar Nina, aku pun langsung mewujudkan agenda hari sabtu ini yaitu : service sepeda motor. Aku segara meluncur ke kawasan Stadion Utara untuk setel peleg roda. Kawasan stadion itu memang terkenal dengan belasan bengkel yang membetulkan peleg sepeda motor, daerah pedagang konstruksi besi bangunan dan satu ini yang tak kalah menarik : kawasan pedagang buku. Ya, setelah mendapatkan bengkel peleg aku istirahat sebentar. Lumayan capek, maklum sudah lama gak bawa motor untuk keperluan yang bakal seharian seperti ini. Sambil ngobrol ringan dengan si bapak bengkel, tiba-tiba pandanganku tertarik dengan beberapa lapak (kedai/kios) buku yang baru dibuka oleh pemiliknya. ”Kebetulan!” pikirku. Mungkin ini yang dinamakannya jodoh. Karena beberapa bulan aku memang ingin mencari buku-buku lanjutan tetralogi Andrea Hirata setelah Laskar Pelangi. ”Eureka!!” Aku putuskan untuk mendatangi sebuah lapak di samping bengkel tadi. Ramah sekali bapak penjualnya, dan tidak butuh waktu lama buku kedua dan ketiga bagian dari tetralogi karya anak negeri yang menjadi best seller dari motivation book itu pun aku dapatkan. Sang Pemimpi dan Edensor. Dua (2) buah buku yang akhirnya aku dapatkan, sebenarnya masih ada 1 buku lagi yaitu buku ke empat karya dari makhluk ”melayu” yang kaya goresan susastra dengan potret kenangan dan kajian ilmiah. Ya, buku dengan judul Maryamah Karpov itu belum beredar.

Belum lagi aku membaca buku-buku itu, dalam otakku segera muncul gagasan : ”Nina pulang jam 1 siang, nah saatnya mencari tempat yang nyaman untuk menikmati buku-buku ini!” Ya, benar, STASIUN TAWANG!” Gila...seolah-olah benar kata tokoh yang memberi pengantar dan komentar dalam buku-buku Andrea ini. Memberikan motivasi dan inspirasi. Hahahaha....dasar cerdas benar otak penerbit sekaigus pedagang buku ini ya. Dan memang dari buku Laskar Pelangi telah memberikan gambaran sederhana perjalanan hidup anak manusia dengan lingkungannya dengan segala kerangka penghargaan terhadap segala kemungkinan dan nilai luhur kemanusiaan. Jujur, memang aku terinspirasi. Dan dari satu buku yang telah aku baca, sangat kuat sekali ceritanya menyentuh kesadaranku. Kalau boleh memberikan komentar, Andrea Hirata berhasil menghadirkan runtutan kisahnya bergaya susastra dengan elaborasi appreciative inquiry. Sebuah model revolusi berfikir yang sangat menghargai manusia dan potensinya sebagai asset based thinking. (Terimakasih mas Dani Moenggoro atas pengantarnya). Luar biasa!

Stasiun Tawang
Setelah mendapatkan buku-buku itu, dan pas sekali peleg sepeda motorku juga telah selesai. Masih ada agenda hari ini yang belum selesai yaitu : service sepeda motor. Segara aku melucur ke daerah jalan Mataram untuk mencari bengkel. Dapat! Dan setelah memberikan beberapa request ini itu untuk service maka tidak butuh lama segera aku mulai membaca Sang Pemimpi. Menarik...dan semakin menarik buku ini.

Larut dalam keasyikan aku membaca, tidak terasa 30 menit sudah aku berada di bengkel itu dan ternyata selesai pula 2 orang montir itu menggarap motorku. Aku lihat jam di tanganku : ”hmm..masih jam 10.30 wib” pikirku. Setelah itu pun aku melanjutkan perjalananku. Dan karena dahaga yang lumayan membuat tenggorokan kering di kota pesisir dengan suhu sekitar 35 0 C, aku putuskan untuk singgah ke warung cina penjual es kelapa ”Kartika Sari” masih di daerah Mataram. Segar sekali dan memang sejak dulu, warung ini menjual es air kelapa pilihan dan orang-orang tua di Semarang tahu. Kelapa yang dipilihnya adalah kelapa mudah hijau yang degan nya sudah menjelang padat tapi tetap bisa dikunyah dengan kekuatan gusi...Rapuh dan lunak tetapi mulut ini tetap dapat merasakan patahan degan muda itu. Ditambah air kelapa yang dicampur dengan sirup khas warung itu. Sungguh tidak terasa intervensi pemanis buatan dalam sirupnya. Sungguh nikmat sekali. Dan itulah sebabnya, biasanya warung yang juga ruko berukuran 10 x 5 meter itu selalu dipadati pembeli. Tapi karena saat itu masih terlalu pagi, hanya baru aku yang menjadi pembeli. Aku menikmati betul segelas besar air kelapa dan degan itu sambil tak lupa melanjutkan membaca Sang Pemimpi.

Tidak sungkan-sungkan aku sesekali tertawa dan diam haru karena buku itu. Beberapa pembeli pun sudah silih berganti berdatangan. Lama-lama akupun merasa tidak pantas berlama-lama di situ. Sudah 30 menit aku di sana. hahaha..Rupanya pengaruh etika jawa ini pun ternyata mempengaruhi kebiasaanku. Aku putuskan untuk cabut dan meluncur ke stasiun Tawang yang telah aku impikan dari tadi. Hanya membutuhkan waktu 5 menit dari warung es tadi aku telah sampai ke Stasiun Tawang.

Stasiun kereta api peninggalan Belanda pada tahun 1920an ini masih terkesan kokoh dan bagus. Design arsitektur seorang Thomas Kersten, arsitek asal Belanda, ternyata menujukkan eksistensi sebuah karya cipta manusia yang tak lekang dimakan jaman. Kalau membaca cerita akhir hayat sang arsitek Belanda ini ternyata cukup tragis, ia akhirnya mati sebagai tawanan tentara Jepang yang sebelumnya juga sempat menikahi seorang perempuan Wonosobo. Beberapa karya ciptanya hingga saat ini masih difungsikan oleh masyarakat dan pemerintah Semarang seperti : Pasar Johar (walaupun sempat mau digusur oleh makhluk yang bernama Sukawi yang mengaku walikota itu), Gereja Blendug, Gedung Lawang Sewu (the exotic building), dan banyak bangunan tua lainnya. Hmm...Inilah sedikit dari banyak cerita sebuah negeri yang pernah dijajah banyak negara...hingga saat ini..hahahaha..

Parkir sepeda motor dan masuk ke dalam stasiun. Gratis? Oh tidak! Mana ada yang gratis di negara sakit ini. Alasan peron 1000 perak pun harus dikeluarkan, it’s ok! Biarlah. terserah mereka saja lah yang mengaku pengampu jawatan kereta api negera ini. Tepat sekali feeling-ku. Suasana pagi menjelang siang di Stasiun Tawang begitu mempesona. Tidak terlalu ramai. Karena kereta-kereta baru akan mulai sibuk sekitar pukul 12.30 siang nanti. ”Ah..Mantap.” pikirku. Segera aku mencari bangku tunggu di dalam stasiun. Ya dapat. Bangku dengan list besi dan topangan dari kayu jati tua yang masih terkesan kokoh. Nyaman sekali. Tidak butuh pikir lama, aku segera mengeluarkan buku yang tak sabar ingin kubaca. Sungguh larut aku dalam jalan cerita Sang Pemimpi. Bagaimana sequal dari Laskar Pelangi ini membawaku seakan aku mengikuti pengalaman masa remaja Ikal, Arai dan Jimbron. Sekali lagi, tidak berlebihan aku memuji si penulis ini. Sangat apresiatif.

Tanpa sadar pandanganku terganggu pada seorang anak muda di seberang rel kereta. Tidak ada yang luar biasa, hanya saja aneh menurutku. Pemuda itu bertelanjang dada hanya menggunakan celana pendek, sepatu dan kaos kaki yang panjangnya sampai ke lutut. Yang membuatku tertarik adalah, tingkah lakunya seolah ingin menunjukkan kepada semua orang yang ada di stasiun : ”aku sedang berlatih bertinju!” Apa??? Ya..tentu saja pemandangan itu mengundang perhatian orang banyak. Aku sendiri sempat tersenyum. Dalam hatiku sempat bertanya : ”apakah pemuda itu kurang waras?” Tapi segera aku tepis pikiran negatifku itu. Aku kembali tersenyum di antara orang-orang lain yang tertawa dan ada pula sekelompok orang yang membahas dengan nada mengejek. Aku tersenyum dengan berujar dalam hati: ”Ya, siapa tahu dia memang bukan siapa-siapa hari ini, tapi suatu hari nanti bisa saja ia menjadi petinju masyur. Karena dia sangat rajin berlatih dan ia menginkan hal itu. Walaupun sarana berlatihnya hanya di sebuah stasiun dengan ditertawai dan dicemohi banyak orang.” Siapa tahu? Wallahu’alam.

Hampir jam 13.00 siang, aku pun harus kembali menjemput Nina. Kembali melewati banjir. Untuk membawa dan menemaninya kembali ke pulang dimana anak kami pasti telah menunggu dengan tidur pulasnya yang menggemaskan.

wassalam

@

Catatan Nusakambangan : Chapter II

on Monday, January 21, 2008

Oya menyambung tentang Nusakambangan...hmmm...kali ini karena Pulau yang 80% difungsikan sebagai pembinaan warga pemasyarakatan (bahasa dulu : narapidana) aku berkesempatan ke international Harm Reduction conference di Barcelona- Spanyol. Memang masih beberapa bulan lagi untuk persiapan, yaitu bulan May 2008 nanti. Hahaha...walaupun sudah resmi diterima oleh committe-nya sampai sekarang masih ribet ngurusin "tetek bengek" persiapan ke sana (hmm...tetek koq pake bengek ya? aneh..???)

Oya ini abstract yang aku susun, moga bisa bermanfaat untuk teman-teman...


Setting up Continum of Care for Prisoners in Nusakambangan Cilacap District, Central Java, Indonesia
Agus Aribowo

Abstract

Issues :
This advocacy aim to form the network of prevention, & CST for HIV/AIDS in Nusakambangan prison. For a while, activity done just to education but at same time HIV and AIDS cases in prison progressively mount.

Setting :
Primary audience in advocacy activity is : AIDS Commission, Prison of Nusakambangan, Health Department, Law & Human Right Department, NGOs, District Hospital, Public Health Care.

Human resources of medical services are as follows : 1 medical doctor, 1 dentist and 5 paramedics. Health facility still minimum. There were 4 prisoners died since 2004 till September 2007. There were 11 cases of HIV reactive among 200 prisoners tested by Margono Hospital in 2006. ART have been given to 2 PLWHA. Cilacap Hospital has not been trained yet for CST services.

Process :
Major role and competence in this situation should be District AIDS Commission. By signing agreement to Involve all audiences should deserve an effect on in this program. Advocacy to Law & Human Right Department of Central Java related to : policy support for HIV/AIDS program, especially in registration & delivery system of prisoners to Nusakambangan should be provided with the respective medical record. NGOs give the service HIV/AIDS education and health reference information for prison staffs and prisoners. Prison doctor give counseling of drug’s addiction in prison. Public Health Care as service reference health of base also medication of OI and STI. District Hospital as service reference CST.

All activities should be in line with agreement and SoP under District AIDS Commission coordination.

Outcomes :
All target audiences could set up comprehensive health services system supporting prisoners in Nusakambangan.

Key words :
Nusakambangan, Prisoner, HIV/AIDS, reference, comprehensive, coordination

Maafkan kami, karena rumah kami di atas bekas lahan sawah

on Thursday, January 17, 2008

Rumah hunian kami tidak dirasa hampir selesai. Itu pun kami ngeh baru 2 bulan yang lalu. Awalnya hanya ingin melihat2 sambil iseng berkunjung ke lokasi perumahan. Eh, ternyata pembangunan sudah dilakukan. Ada 6 tenaga tukang yang mengerjakan bangunan itu. mandornya adalah Pak Yudi. Bapak berusia 56 tahun itu sangat cermat mengawasi dan membantu langsung para anak buahnya. Aku dan istri sempat kaget, koq udah dibangun ya? dan ternyata itu adalah rumah pertama alias rumah contoh di areal cluster Balai Amarta yang ada di perumahan Tembalang Regency. Jadi selama ini, kamilah orang pertama yang membeli kapling di sana. Hahahaha...dasar pembeli yang aneh.


Rumah mungil tipe hampir 50 ini dibangun di atas lahan 108 m dan bekas sawah. Apa????? Sawah!!!! Berarti dulu penghasil beras dong? Wah, petaninya kemana ya? Berapa orang buruh tani yang harus menganggur? atau bekerja apa mereka sekarang? apa yang menggantikan konservasi air tanah kalao sawah dijadikan perumahan? semakin melenggangkan jalan pemerintah untuk melakukan import beras dan gabah kering dong, karena pertanian rakyatnya hancur...wah..wah...dari ekonomi mikro sampe makro nich dampaknya...Padahal rencana pengembang perumahan itu merencanakan perluasan pembangunan perumahan hinggal 50 Ha dan 90 % dibangun di atas lahan pertanian padi produktif!!!! Bapa Karl Marx, maafkan aku :)

Jadi sangat bertolak belakang dengan revoluasi agraria yang sejak dari dulu diperjuangkan oleh kelompok agraris. Kalau tidak salah mereja muncul di saat struktur ekonomi berlaku timpang dan menggusur wewenang tradisional, terus ketika proses kapitalisme makin menyuburkan komersialisasi pertanian dan meruntuhkan keimbangan sosial, ditambah lagi sistem agraria makin menggerus harapan petani dan hanya melayani kepentingan kuasa modal, saat itulah revolusi agraria muncul sebagai sebuah gerakan perlawanan. Hahaha.....kalau situasiku sekarang adalah : bukan komersialisasi pertanian tapi pemodal properti perumahan yang memangkas pertanian rakyat. Hmmm...absurd juga ya, sadar itu gak bener tapi tetep beli rumah di areal itu. Hahahahaha....Kalau berfikir dialektis, maka dengan membeli atau membangun rumah di atas lahan pertanian produktif, maka akan berdampak....apa ya? Ya sekarang ini, tempe saja menjadi mahal...karena import kedelai yang semakin tinggi dan kita selalu dipermainkan oleh internasional. Lalu kelangkaan bahan pangan pokok. Hal-hal itulah yang tidak habis fikir, negara yang mengklaim dirinya sebagai negara agraris harus mengadalkan import kedelai, gabah kering dan beras. Negara apa sebenarnya ini????? Tidak punya kerangka pembangunan pertanian yang jelas...eh bukan hanya pertanian ding...semuanya, hukum, good governance, ekonomi, sosial, politik, budaya...semuanya gak jelas..Tuhan ampuni para pemimpin negara yang rakus dan bodoh ini. Amin..Untuk lesson learned : JANGAN AMBIL RUMAH DI LAHAN PERTANIAN PRODUKTIF!!!! OK? Biar kami saja yang terlanjur...hahahahaha

Wassalam

@

Being AYAH


21 Desember 2007. Alhamdulillah, saat yang ditunggu –tunggu itu pun tiba. Memang lebih cepat 2 minggu dari perkiraan dokter. Dalam usia kandungan 37 minggu akhirnya Nina pun melahirkan putri kami. Saat itu, segala perasaan syukur, haru dan bahagia meramaikan tangisan lantang bayi kami. Syukur, ya karena Tuhan telah mengabulkan permohonan kami. Tuhan, dan memberikan kepercayaan itu pada kami. Kau telah beri anugerah bagi kami seorang bayi perempuan yang mungil..darah daging kami.Thank’s God for Your Gift :). Sedangkan haru, adalah ketika kenyataan itu merupakan kuasa Tuhan yang baik. Tepat sebulan yang lalu sebelum putri kami lahir, aku ditinggalkan orang yang paling berjasa dalam hidupku, orang yang selalu mencintai aku, mendoakan sekarang maupun masa depan ku. Orang yang pertama kali mengenalkan padaku apa makna kebajikan, keluhuran hati, serta kasih sayang. Ya..Ibu ku. Dalam kesempatan terakhir aku berbicara dengan ibu, ibu minta aku mendoakannya untuk tetap sehat agar dapat melihat anakku kelak. Ibu, cucu perempuan Ibu sudah lahir, sehat dan lucu. Doa kami selalu untuk Ibu. Bahagia, karena dialah anugerah terindah bagi kami, dan bahagia karena seutuhnya kami telah menjadi ORANG TUA…menjadi Ayah dan Bunda bagi putri kami. Alhamdulillah sekaligus selalu Bismillah :).


Aku dan Nina bersepakat menamakan putrid kami dengan : Khalilla Lintang Zaafarani. Hahahaha…ke-arab-araban ya? Tapi ada jawanya juga koq. Bisa dipanggil Khalilla, Lilla atau Lintang :) terserah komunitasnya nanti dimana :). Kalau dikombinasikan dari nama itu adalah : “kekasih yang menerangi dengan keharuman”. Proses bersepakat memberikan nama itu juga tidak mendadak. Kalau boleh mengenang prosesnya, dulu kalau anak kami perempuan aku ingin diberi naman : Aulia Bela Marjinal, dan kalau laki-laki aku ingin diberi nama Adnan Lawan Tirani. Semula sudah yakin, namun ketika sudah menginjak usia kandungan 7 bulan, aku jadi mikir-mikir lagi. Iya ya..nanti gimana mereka nanti ya kalau sudah besar. Hahahaha...Ternyata dari dulu pun Nina gak setuju-setuju banget kalo nanti dikasih nama itu. Dan akhirnya dimulai proses searching nama dan makna yang baik-baik. Bersyukur aku punya istri yang bijaksana, i love u Nina :). Alhamdulillah, aku bisa menemani Nina dari proses “bukaan ½”, kontraksi2 awal, sampai kontraksi yang “menggetirkan” yang dialami Nina hingga proses melahirkan pun..tak sedetik pun aku biarkan Nina merasakannya sendiri. Walaupun aku hanya bisa mendampingi, memberikan doa dan support kepada istriku yang sedang meregang nyawa, mempertaruhkan hidup dan mati demi kelahiran anak kami.

06.10 wib
Tidak membutuhkan proses yang lama setelah menunggu 20 jam (bukaan 1 hingga bukaan 10), hanya membutuhkan wakti 5 menit dengan ditangani dokter dan 7 orang perawat (hahahaha…main volley kali, karena saat itu pagi jam 6 dan tidak ada pasien yang melahirkan) Nina melahirkan bayi dengan normal dan sehat. Alhamdulillah.

Putri kami lahir di saat umat Islam masih dalam suasana sukacita, karena masih di suasana Idul Qurban. Beratnya 2,8 kg dan panjang 48 cm. Hari baik? Hahahaha…semua hari itu baik koq dalam pengertian sederhanaku yang orang awam ini. Yang jelas fenomena alam sudah menunjukan hujan deras yang berkepanjangan dan tak menentu. Ya, orang2 lingkungan bilang pengaruh global warming lah. Dan memang benar 4 - 6 hari setelah itu, beberapa daerah di jawa tengah mengalami tanah longsor dan banjir luapan Bengawan Solo. Terutama Solo. Hiks…tempat eyangnya Khalilla (syukurlah tidak terkena banjir). Tapi terlepas dari semua fenomena alam itu, semoga negara ini lebih cepat merespon situasi yang berpotensi bencana juga segera bersikap jika terjadi bencana. Ya semoga saja, moga-moga juga itu kali terakhir bencana yang terjadi di bumi pertiwi ini, sehingga kelak hanya menjadi “kisah” bagi Khalilla dan anak-anak muda lainnya. Bahwa negara ini PERNAH sudah bobrok selalu dilanda bencana pula. J Semoga. Amin

Yang jelas, sekarang aku memiliki tanggung jawab sekaligus kebanggan sebagai Ayah, dan ternyata itu juga tidaklah gampang. Namun, peranku ini tidaklah sempurna jika tidak ada peran istriku, Nina, Bundanya Khalilla yang selalu cermat dan responsive terhadap perkembangan putri kami. Alhamdulillah kedekatan dia dengan Khalilla terutama melalui ASI sangat luar biasa. Air mulia anugerah Tuhan itu sangat membantu kami dan Alhamdulillah Nina pun diberi kemudahan untuk mengucurkan asi-nya untuk Khalilla. Semoga terus berjalan hingga 6 bulan bahkan 2 tahun. Amin…Babak baru kehidupan kami pun telah kami tapaki…masih sangat baru..bismillah.


Wassalam

@