Gay : Anomali dan Fakta (chapter 1)

on Thursday, May 8, 2008


Beberapa minggu yang lalu aku dan mas Bowo melakukan evaluasi proyek di sebuah yayasan yang dikelola dan berfokus pada masalah gay dan men who have sex with men (MSM) yang ada di Solo. Yayasan itu adalah GESSANG. Evaluasi yang kami lakukan adalah kegiatan yang cukup penting. Mengingat akan menentukan hubungan kemitraan lembaga dengan mereka untuk tahun kedepan. Ada diskusi intens dengan membongkar data capaian performance hingga turun ke lapangan melihat proses para outreach worker bekerja. Ada satu pengalaman menarik dimana pada saat melakukan evaluasi kali itu.

Sore itu, setelah sesi selesai aku sengaja bersantai-santai dengan mas Bowo dan dua teman dari Gessang, yaitu Selamet dan Giyanto. Slamet yang aku kenal adalah salah seorang tokoh gay di Solo yang telah merintis perjuangan hak kaum gay sejak tahun 1996. Mengawali aktifitas sejak di Surabaya yang sebelumnya bergabung dengan kelompok GayA Nusantara. Yaitu kelompok gay kaliber nasional yang dimotori oleh Dede Oetomo seorang doktor antropologi di salah satu perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia. Aku mengenal Slamet sudah 2 tahun lebih. Mendengar cerita-cerita tentang kiprahnya, terus terang aku salut. Sebuah proses pengungkapan jati diri dan kelompok yang kerap mendapatkan respon negatif dari kelompok masyarakat lain yang menganggap dirinya paling benar.


Perjuangan yang tak henti-hentinya menuai hujatan, kecaman, intimidasi, teror bahkan ancaman pembunuhan. Bahkan, pernah ada satu cerita ia dan beberapa ”senior” (sebutan ”junjungan besar” bagi gay kawakan yang aktif atau bahkan progresif lebih dulu) di tahun 1999. Beberapa kelompok agama yang ”fundamental” (istilah ini sebenarnya saya tidak cocok, karena seolah membenarkan aktifitas ”barbar” mereka yang mematikan kelompok lain dan menganggap mereka paling benar) menyerbu sebuah hotel di kawasan Solo dengan tujuan mencari kelompok gay yang tengah mengadakan pertemuan penguatan jaringan. Yang mencengangkan, bahkan mereka bertingkah seakan-akan kerasukan ”roh srigala tengik” berniat membunuh para kelompok gay itu dengan fatwa : Halal!.

Tidak hanya berhenti di waktu itu saja. Banyak teror yang mereka alami. Terakhir adalah ketika di tahun 2006, mereka mengadakan kegiatan dalam rangka hari AIDS sedunia. Acara itu dikemas seperti : ajang pemilihan ”miss universe” peduli AIDS yang diikuti oleh kelompok gay dan waria di Solo. Serbuan dan intimidasi secara fisik (tentu saja secara berdampak pula secara psikologis) dilakukan oleh ”laskar” yang menggunakan simbol-simbol agama tertentu dan menggunakan istilah yang identik dengan nama milisi Afganistan yang dibiayai dan dilatih oleh Amerika ketika melawan ekspansi Uni Soviet di Timur Tengah yang akhirnya beberapa tahun terkahir ini justru sibuk dihancurkan oleh Amerika karena dituduh sebagai biang teroris. Sekitar seratus-an orang berjubah dan bersenjatakan alat pukul dan senjata tajam itu menyerbu kegiatan yang sedang berlangsung. Kebetulan, aku juga ada di sana dan menyaksikan dengan mata kepalaku. Sebuah pertemuan kultur dan peradaban yang menggunakan konflik sebagai cara pandang. Fenomena kontroversi yang mengedapankan nilai kekerasan sebagai pilihan. Namun sontak selesai hanya dengan produk manusia yang membuat manusianya sendiri menjadi gila. UANG!

Ya, uang sebesar Rp. 500 ribu adalah peredam amarah dan kedengkian sekelompok orang yang berteriak-teriak menyebut nama Tuhan mereka. Uang adalah embun pelepas dahaga di kemarau iman yang panjang. Uang adalah Tuhan sesungguhnya Apakah ini yang disebut distorsi nilai manusia akan agamanya? Aku pernah membaca “Sexual Morality : in the world’s religions” karya Geoffre Parrinder yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Teologi Seksual”. Buku itu sangat menarik membahas bagaimana agama-agama di dunia memandang seksualitas termasuk beberapa perilaku seks yang ada. Dan rasanya, tidak ada satupun agama (dalam perspepsi kitab sucinya) yang membenarkan teror terhadap kontroversi seksualitas.

Ada persoalan hidup yang menyelimuti perjuangan kelompok gay ini. Menurutku, masalah mereka bukan sekedar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Ekonomi, sosial, bereligi, berbudaya, bahkan akifitas seksual. Persoalan hidup mereka secara lebih mendasar “diganggu” oleh esensi dasar kehidupan manusia yaitu seksualitas. Orientasi seksual yang secara umum dianggap menyimpang inilah yang mengawali penolakan awam terhadap kaum pecinta sesama lelaki ini. Sepintas, hasrat kebutuhan mereka hanya seputar hubungan seks. Kalau boleh menggunakan istilah lainnya adalah “ideologi mulut dan pantat”. Tetapi, jauh lebih dalam terjadi penganutan pemahaman yang telah meng-ideologis bagi sebagian dari mereka. Sehingga, tuntutannya tidak lagi sesederhana di atas. Mereka menjelma sebagai sesungguhnya manusia yang menghendaki hak-hak dasar sebagai manusia di tengah intimidasi sosial. Mereka memperjuangkan yang sesungguhnya hak dasar sebagai manusia, yaitu apresiasi dan pengakuan atas keberadaan mereka tanpa diskriminasi. Memandang kelompok mereka sebagai esensi manusia seutuhnya yang tidak dibatasi ruang publik dan segala akses pemenuhan hak-hak sebagai manusia.

Perjuangan yang ama panjang. Walaupun beberapa negara di Eropa melalui salah satu majelis gerejanya telah memberi restu pernikahan bagi kaum homoseksual. Ternyata belum cukup untuk bernafas lega. Negara Eropa dan Amerika Serikat tercatat secara statistik angka kekerasan masyarakat umum bahkan aparat publik kepada kelompok gay dan homoseksual lainnya selalu meningkat. Setiap tahun selalu ada peningkatan 10-15 % kasus kekerasan terhadap kelompok homoseksual ini. Menjadi menarik proses ini. Karena ditengah upaya penegakan humanisasi kaum homoseksual ada trend relasi kekerasan yang cenderung meningkat. Apakah masyarakat hingga saat ini belum menerima? Bagaimana dengan Anda? Lalu bagaimana cerita kawan Selamet dan Giyanto selanjutnya? Bersabar ya, semoga ada next chapter.

Wassalam,

@
NOTE : Kata GAY untuk judul dalam posting ini saja sudah diblokir oleh Telkomnet dan Indosat.

8 comments:

Anonymous said...

memang masih ada diskriminasi terhadap teman2 GAY.
Negara salah satu bukti. Melalui otoritarian jaringan komunikasi internet, kata : Gay saja tidak bisa menjadi judul posting ini, kemudian editing juga tidak bisa dilakukan (ada ralat bukan tahun 2002 kejadian di Solo, tetapi tahun 1999).

Freedom, Syalom

ari

Diah Setiawaty said...

Salam kenal Mas Agus, Saya Diah. Saya juga prihatin atas semua bentuk marginalisasi gay, walaupun saya bukan gay tapi saya merasa sebagai sesama manusia apa yang dilakukan oleh para homophobic memang keterlaluan. Bukankah hanya Tuhan yang berhak menghakimi hambanya? wong tidak ada jaminan kok yang mengaku religius dan fanatik dapat masuk surga. Saat ini saya sedang meneliti marginalisasi gay di Amerika, mohon bantuannya jika ada informasi. Terimakasih

Anonymous said...

mas agus, salut dengan usaha anda, aku harap akan membuahkan hasil, jangan seperti GN di surabaya yang sudah gak dipercaya orang lagi karena ketuanya yang tua bangka (dan keparat!!!) suka nge seks dan menjebak brondong-brondong sehingga masyarakat gay muak dan menjauhi GN

wassalam,
M Iqbal

Anonymous said...

Salam kenal ya mas, adalah tugas mulia mas Agus membuat citra gay yang terpuruk menjadi bernilai positif.Sependapat dengan komentar seseorang di sini mengenai oknum di GN, yang sayangnya mas Dede selaku pemilik yayasan membiarkan tingkah polah Sdri Ibud sehingga GN diajuhi masyarakat (terutama yang tertutup)
Aku tahu tugas mas Agus tidak mudah tapi Insya Allah berhasil, Amien!
PS: mengapa mas tidak mendekati mas Dede saja untuk menggantikan Ibud, dia sudah lama jadi ketua dan dengar dengar orang tidak ada yang MAU karena citra buruk GN, dan yang lebih parah kabarnya Ibud sendiri selalu 'menggeser' para kader-kader yang ada sehingga dia bisa selamanya jadi ketua.

Donny Stefen Wattimury said...

Diskriminasi terhadap LGBT, harus disikapi dengan kehati-hatian. Tentu secara personal saya menentang adanya diskriminasi, namun juga harus lihat mengapa timbul diskriminasi?

Dari jauh saya mengamati salah satu organisasi gay di Indonesia, ide awal berdirinya organisasi gay tsb baik, namun setelah berjalan, kok menjadi kurang baik.

Kehadiran organisasi gay belum mampu memperjuangkan nasib kaumnya.

Pandangan negatif masyarakat ttg kaum gay, jg tidak bisa disalahkan. Sering saya melihat kaum gay lebih banyak mengumbar sex, lebih mudah bergonta-ganti pasangan.

Wajar jika diantara kaum gay sendiri, tidak percaya/ berpandangan negatif dgn organisasi gay yang ada.

Beberapa teman saya mengatakan, bukan organisasinya yg salah, namun oknum2 nya yang salah.

Menurut saya, apabila saya bergabung dengan salah satu organisasi gay, apalagi sampai jadi pengurus, tentu saya merupakan representasi dr organisasi gay tsb. Sehingga saya harus lebih menjaga image saya dan juga image organisasi (bukan dalam arti berpura-pura atau munafik). Menjadi leader tentu menjadi sorotan, sehingga harus mampu menjadi leader yang baik. Memang ada pemisahan antara urusan organisasi dan urusan pribadi, namun batasnya tentu bisa menjadi sgt tipis, krn ketokohan itu kan juga menyangkut reputasi.

Dulu semasa kuliah, saya punya keinginan untuk bergabung, ikut aktif dgn salah satu organisasi gay di Indonesia, namun setelah beberapa kali pertemuan dan diskusi serta mengamati kondisi yang ada, saya membatalkan niat itu.

Semoga suatu hari nanti ada organisasi gay yang BENAR2 SANGGUP MEMPERJUANGKAN NASIB KAUM GAY DGN CARA YANG POSITIF, LEBIH MAJU DAN BISA DITERIMA OLEH MASYARAKAT INDONESIA dan STIGMA NEGATIF thd kaum GAY bisa berkurang.

Anonymous said...

sependapat dengan komentar bung butterfly, semasa kuliah dulu saya juga berniat bergabung dengan gaya nusantara sebagai organisasi gay yang saya anggap besar dan pertama, itung-itung aya mau belajar berorganisasi dan mencoba membagi ilmu saya dengan mereka, tetapi pada awal berkenalan dengan mereka saya langsung 'drop' dan tidak simpati. Belum bergabung saja saya sudah mendapatkan tanggapan sinis dari si ketua (mas Budi), nampaknya selintas memang si Budi tidak menyukai orang 'baru' apalagi yang berwajah 'biasa' sperti saya ;=), karena disitu saya sudah melihat adanya perbedaan perlakuan/diskriminasi, jika si ketua yang terhormat ini menyapa/berkenalan dengan orang yang dilihatnya hanya secara fisik dan (memungkinkan bersedia diajaknya kencan), saya ingat sekali seorang teman saya yang memang cakep, diajak foto bersama dia dan fotonya dipasang dan teman saya ini di akuinya sebagai pacar, tentu saja teman saya itu sewot dan memang kenyataannya si ketua ini memaksa-maksa mengajak kencan dsb yang sikapnya tidak mencerminkan perilaku sebagai orang yang berpendidikan tinggi (katanya S 1 tapi kampungan banget). saya tidak marah dan tidak menyesal karena tidak jadi bergabung, saya hanya menyayangkan rekan-rekan di komunitas tersebut sepertinya membiarkan perilaku si ketua yang konon adalah anak emasnya Bpk Dede. Sungguh sangat disayangkan ya pengelolaan organisasi tidak dilakukan dengan profesional. Saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat dan saya alami serta saya dengar dari beberapa rekan disitu yang 'meng-amini' perilaku mas Budi yang katanya sudah 'biasa'. saya pikir mungkin hal inilah yang membuat adanya diskriminasi yang ternyata diciptakan oleh orang-orang itu sendiri

wassalam

Anonymous said...

kami berharap dan mendukung mas slamet dapat menggantikan posisi ketua di gaya nusantara, terus terang kami sudah muak dan bosan dengan gaya kepemimpinan sdri ko budi alias ibud yang cenderung otoriter, sok keminter dan bicaranya kasar
mas agus tolong lobby dong ke pak Dede Utomo, jangan biarkan ibud menjadi ketua lagi! cukuplah sudah, jauhkan kaum sehati dari kepempimpinan bencong arogan ini, ibud mending ke panti lansia saja, wis wayahe pangsiun!

Anonymous said...

se 7 banget ko budijanto di ganti

mas Slamet dari gessang

ko budijanto enaknya dikembalikan

lagi ke habitatnya sebagai banci

kuburan GUNUNG GANGSIR, dendongo

sak karepmu nek, nok kuburan!!