Gay : Anomali dan Fakta (chapter 2)

on Friday, May 16, 2008


Pada chapter sebelumnya, aku sudah menceritakan sepintas kisah salah seorang tokoh dalam cerita ini. Ya, Slamet. Pria dengan penampilan kepala plontos ini tergolong senior di Jawa Tengah dengan memusatkan tajuk kerajaan gay-nya di Solo. Sangat menyenangkan jika berdiskusi dengannya. Sering kali aku terperangah, geleng-geleng kepala jika ia menceritakan entah fakta atau rumor fenomena gay di Jawa Tengah ataupun di Indonesia. Walaupun aku sangat paham dengan angka estimasi berapa jumlah gaya atau secara umum disebut sebagai MSM (men who have sex with men) yaitu tahun 2006 hingga sekarang jumlah mereka di Jateng adalah 8.739.988 jiwa (data estimasi MSM KPA Nasional, 2006). What's up buddy? Surprising about that? Compare with men population in central java. Here they are data from Susenas (Survey Social Ekonomi Nasional, 2006) penduduk laki-laki dewasa (>14 tahun) 9.262.783 jiwa dan (<14 tahun)5.490.902 jiwa. Woowwww.......



Ada satu buku yang menarik tentang gay di Indonesia. Salah satu buku karya Dede Oetomo "Memberi Suara Kepada Yang Bisu". Sebuah referensi kenyataan yang mengulas bagaimana perjuangan kelompok Gay di Indonesia. Bagaimana peta konstelasi perjuangan mereka di tengah hiruk pikuk kontroversi. Yang menarik juga bagaimana pandanganku tentang beberapa tokoh dunia seperti : Raja Iskandar Zulkarnaen dan Julius Caesar, filsuf Yunani klasik Plato dan Aristoteles, Boden Powell (bapak kepanduan / pramuka internasional), Michelangelo dan Leonardo da Vinci (pelukis). John Maynard Keynes (tokoh ekonomi neo-klasik), Michael Foucalt (posmodermis), Elton John (penyanyi), Fredy Mercury (terhitung sebagai bi-sex), Glanni Versace (perancang mode). Ia nyatakan, sejarah kaum gay di Indonesia pun telah ada sejak dulu kala. Hampir di setiap daerah dengan akar kebudayaan masing-masing hampir dipastikan aktifitas erotis gay ada di ruang budaya itu. Bissu dalam beberapa kegiatan ritual mistis di Makassar, Gemblak dalam dunia per"Warok"an di Ponorogo. Juga budaya laki-laki ningrat di Solo yang hobby memiliki "simpanan" lelaki-lelaki muda.

Informasi itu pun dilengkapi oleh kawan-kawan Gessang, bahwa hampir di semua lini kepentingan dan isu di daerah maupun nasional juga pasti ada kelompok "hemong" (sebutan gaul dari gay). Walikota? Ada. Artis? Banyak. Menteri? Ada. Pengusaha? Banyak. Aktivis LSM? Banyak...yukkk...hehehe.

Kembali ke tokoh cerita, Slamet dan kawannya Giyanto. Apresiasi kemanusiaanku mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang hebat. Mereka sangat terbuka atas status mazhab pecinta sejenis yang mereka anut. Sebuah pilihan hidup yang rumit. Aku memberanikan diri untuk melakukan indepth interview kepada mereka. Seorang Giyanto, adalah lelaki yang memiliki orientasi tampilan "kemayu".

Aku belum pernah membaca atau mendapatkan literatur dari buku, atau jurnal ilmiah manapun terkait dikotomi seksual, orientasi spesifik atau batasan libido seksual seorang gay. Jujur, hingga sekarang aku masih sering bingung, sebenarnya faktor-faktor apa saja yang menentukan hubungan inter-seksual maupun ideologis gay.
Kalau hanya sekedar empiris kasus dan kejadian lapangan lain, menurutku gay bukan hanya laki-laki yang tampak "kemayu" saja lho. Dalam kehidupan (seksual, gender, psikologis, sosial dan ekonomi), mereka membagi peran sebagai individu maupun yang sudah berpasangan ataupun dalam kelompok-kelompok mereka. Secara umum, peran gender-lah yang tampil sebagai indikator pembeda pada umumnya. Hingga, muncul 2 istilah gay feminim dan gay maskulin. Selanjutnya kebutuhan hidup mereka menyesuaikan dengan status yang mereka ciptakan tersebut. Misalnya : pasangan gay (terikat maupun tidak) pasti terdiri dari feminim dan maskulin. Yang hanya mencari partner untuk having sex saja, juga akan menyesuaikan dengan sifat yang ia miliki. Dalam arti kata, tidak sembarang laki-laki yang mereka inginkan. Seorang gay yang macho akan mencari pasangan yang kemayu, dan begitu juga sebaliknya. Hmmm...

Tapi bagaimana dengan gay yang bekerja sebagai pekerja seks? Atau sebutan lainnya adalah "kucing". Haruskah mereka bergonta-ganti peran gender mereka? Berakting? Kalau iya benar, luar biasa! Merekalah aktor yang tak pernah mendapatkan piala Oscar. Hmmm...Lalu bagaimana yang sudah memiliki pasangan hetero seperti istri? Beberapa kawan gay atau psikolog memang punya jawaban untuk hal itu. Karena kenyataannya jumlah mereka yang terperangkap menjadi makhluk bi-seksual ini juga tidak sedikit. Katanya, hampir 30% gay yang ada juga memiliki pasangan hetero tetap. Fuiihhhhh.....

Eiiit...Bagaimana dengan Giyanto tadi? Aku menanyakan kepadanya, dulu sewaktu ia memasuki masa "aqil baliq" remaja awal pernahkah ia mimpi basah? Ia pun menjawab mantap. Iya. Lalu aku lanjutkan, dengan pertanyaan: "dengan siapa?" Ia pun menjawab tetap dengan kemayu dan malu-malu : "isin aku mas, mbiyen aku mimpi "meong"nge karo wong wadhon." (malu aku mas, dulu aku mimpi "ML"nya dengan anak perempuan"). Wah..menarik juga nich pikirku.Alam bawah sadar seseorang laki-laki yang punya hasrat seksual dengan perempuan hingga terbawa dalam bunga tidur "awal kematangan seksual" namun di kemudian hari ia mencintai sejenis. Ataukah mimpi basah dalam herarki psikologi perkembangan itu hanya sebuah mitos? Ya sudahlah...

Lalu ceritanya pun berlanjut ketika masa remaja kerap ia habiskan dengan ngerumpi, kumpul-kumpul dengan teman-teman perempuannya. Dan lingkungannya selalu mengejek ia dengan sebutan : banci! Aku tertegun, dan segera ingatanku kembali di masa sekolah dulu. Aku teringat temanku: Najib. Teman satu kelas waktu di kelas 1 dan 2 SMA. Sering kali kawan-kawan termasuk guru memanggil ia dengan sebutan banci.Bahkan pernah satu ketika, pada saat jam pelajaran olah raga, Najib ditelanjangi kawan2 ku dan dipasangkan bra (bh) persis di dadanya. Persis tengah lapangan basket sekolah dan disaksikan murid2 lainnya. Hihihihi....kalo inget kejadian itu aku masih ketawa sendiri, dan jujur pada saat kejadian itu pun aku ikut tertawa. Astagfirallah....Tuhan, kalau tahu kejadian yang "menyenangkan" bagi kami saat itu ternyata adalah hal yang menjadi kontribusi terbesar dari dielektis disorintasi seseorang...pastilah kejadian di lapangan basket itu tidak akan terjadi. Najib, where are you now? maafkan kami ya...

Sekarang sudah 3 bulan ini Giyanto sedang membina hubungan "pacaran" dengan "BF" (sebutan gaul untuk pacar boy friend). Tetapi Giyanto menginginkan suatu saat nanti ia dapat menikahi seorang perempuan dan hidup "normal". Aku sangat kaget mendengar kisahnya itu. Kesimpulan ku sementara, Giyanto ini bukan gay. Ia hanya melakukan kegiatan seksual sesama jenis. Hanya pada aktifitas seksual. Dan dalam terminologi seksualitas : ia masuk dalam kelompok MSM. Bukan gay! Berbeda dengan Slamet yang memandang bukan hanya hubungan seksual sebagai indikator orang disebut gay. Gay adalah ideologis begitu katanya. Bukan hanya hasrat seks, tetapi pola pikir, tujuan hidup, hak dan aksi. Seorang gay harus memiliki pandangan hidup yang memperjuangkan hak hidup agar tidak ada lagi diskriminasi. Luar biasa...ternyata menjadi gay itu sulit. Bukan hanya kehidupan yang mereka lewati tetapi rukun syaratnya pun demikian. OK, tertarik?

wassalam,

@

Gay : Anomali dan Fakta (chapter 1)

on Thursday, May 8, 2008


Beberapa minggu yang lalu aku dan mas Bowo melakukan evaluasi proyek di sebuah yayasan yang dikelola dan berfokus pada masalah gay dan men who have sex with men (MSM) yang ada di Solo. Yayasan itu adalah GESSANG. Evaluasi yang kami lakukan adalah kegiatan yang cukup penting. Mengingat akan menentukan hubungan kemitraan lembaga dengan mereka untuk tahun kedepan. Ada diskusi intens dengan membongkar data capaian performance hingga turun ke lapangan melihat proses para outreach worker bekerja. Ada satu pengalaman menarik dimana pada saat melakukan evaluasi kali itu.

Sore itu, setelah sesi selesai aku sengaja bersantai-santai dengan mas Bowo dan dua teman dari Gessang, yaitu Selamet dan Giyanto. Slamet yang aku kenal adalah salah seorang tokoh gay di Solo yang telah merintis perjuangan hak kaum gay sejak tahun 1996. Mengawali aktifitas sejak di Surabaya yang sebelumnya bergabung dengan kelompok GayA Nusantara. Yaitu kelompok gay kaliber nasional yang dimotori oleh Dede Oetomo seorang doktor antropologi di salah satu perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia. Aku mengenal Slamet sudah 2 tahun lebih. Mendengar cerita-cerita tentang kiprahnya, terus terang aku salut. Sebuah proses pengungkapan jati diri dan kelompok yang kerap mendapatkan respon negatif dari kelompok masyarakat lain yang menganggap dirinya paling benar.


Perjuangan yang tak henti-hentinya menuai hujatan, kecaman, intimidasi, teror bahkan ancaman pembunuhan. Bahkan, pernah ada satu cerita ia dan beberapa ”senior” (sebutan ”junjungan besar” bagi gay kawakan yang aktif atau bahkan progresif lebih dulu) di tahun 1999. Beberapa kelompok agama yang ”fundamental” (istilah ini sebenarnya saya tidak cocok, karena seolah membenarkan aktifitas ”barbar” mereka yang mematikan kelompok lain dan menganggap mereka paling benar) menyerbu sebuah hotel di kawasan Solo dengan tujuan mencari kelompok gay yang tengah mengadakan pertemuan penguatan jaringan. Yang mencengangkan, bahkan mereka bertingkah seakan-akan kerasukan ”roh srigala tengik” berniat membunuh para kelompok gay itu dengan fatwa : Halal!.

Tidak hanya berhenti di waktu itu saja. Banyak teror yang mereka alami. Terakhir adalah ketika di tahun 2006, mereka mengadakan kegiatan dalam rangka hari AIDS sedunia. Acara itu dikemas seperti : ajang pemilihan ”miss universe” peduli AIDS yang diikuti oleh kelompok gay dan waria di Solo. Serbuan dan intimidasi secara fisik (tentu saja secara berdampak pula secara psikologis) dilakukan oleh ”laskar” yang menggunakan simbol-simbol agama tertentu dan menggunakan istilah yang identik dengan nama milisi Afganistan yang dibiayai dan dilatih oleh Amerika ketika melawan ekspansi Uni Soviet di Timur Tengah yang akhirnya beberapa tahun terkahir ini justru sibuk dihancurkan oleh Amerika karena dituduh sebagai biang teroris. Sekitar seratus-an orang berjubah dan bersenjatakan alat pukul dan senjata tajam itu menyerbu kegiatan yang sedang berlangsung. Kebetulan, aku juga ada di sana dan menyaksikan dengan mata kepalaku. Sebuah pertemuan kultur dan peradaban yang menggunakan konflik sebagai cara pandang. Fenomena kontroversi yang mengedapankan nilai kekerasan sebagai pilihan. Namun sontak selesai hanya dengan produk manusia yang membuat manusianya sendiri menjadi gila. UANG!

Ya, uang sebesar Rp. 500 ribu adalah peredam amarah dan kedengkian sekelompok orang yang berteriak-teriak menyebut nama Tuhan mereka. Uang adalah embun pelepas dahaga di kemarau iman yang panjang. Uang adalah Tuhan sesungguhnya Apakah ini yang disebut distorsi nilai manusia akan agamanya? Aku pernah membaca “Sexual Morality : in the world’s religions” karya Geoffre Parrinder yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Teologi Seksual”. Buku itu sangat menarik membahas bagaimana agama-agama di dunia memandang seksualitas termasuk beberapa perilaku seks yang ada. Dan rasanya, tidak ada satupun agama (dalam perspepsi kitab sucinya) yang membenarkan teror terhadap kontroversi seksualitas.

Ada persoalan hidup yang menyelimuti perjuangan kelompok gay ini. Menurutku, masalah mereka bukan sekedar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Ekonomi, sosial, bereligi, berbudaya, bahkan akifitas seksual. Persoalan hidup mereka secara lebih mendasar “diganggu” oleh esensi dasar kehidupan manusia yaitu seksualitas. Orientasi seksual yang secara umum dianggap menyimpang inilah yang mengawali penolakan awam terhadap kaum pecinta sesama lelaki ini. Sepintas, hasrat kebutuhan mereka hanya seputar hubungan seks. Kalau boleh menggunakan istilah lainnya adalah “ideologi mulut dan pantat”. Tetapi, jauh lebih dalam terjadi penganutan pemahaman yang telah meng-ideologis bagi sebagian dari mereka. Sehingga, tuntutannya tidak lagi sesederhana di atas. Mereka menjelma sebagai sesungguhnya manusia yang menghendaki hak-hak dasar sebagai manusia di tengah intimidasi sosial. Mereka memperjuangkan yang sesungguhnya hak dasar sebagai manusia, yaitu apresiasi dan pengakuan atas keberadaan mereka tanpa diskriminasi. Memandang kelompok mereka sebagai esensi manusia seutuhnya yang tidak dibatasi ruang publik dan segala akses pemenuhan hak-hak sebagai manusia.

Perjuangan yang ama panjang. Walaupun beberapa negara di Eropa melalui salah satu majelis gerejanya telah memberi restu pernikahan bagi kaum homoseksual. Ternyata belum cukup untuk bernafas lega. Negara Eropa dan Amerika Serikat tercatat secara statistik angka kekerasan masyarakat umum bahkan aparat publik kepada kelompok gay dan homoseksual lainnya selalu meningkat. Setiap tahun selalu ada peningkatan 10-15 % kasus kekerasan terhadap kelompok homoseksual ini. Menjadi menarik proses ini. Karena ditengah upaya penegakan humanisasi kaum homoseksual ada trend relasi kekerasan yang cenderung meningkat. Apakah masyarakat hingga saat ini belum menerima? Bagaimana dengan Anda? Lalu bagaimana cerita kawan Selamet dan Giyanto selanjutnya? Bersabar ya, semoga ada next chapter.

Wassalam,

@
NOTE : Kata GAY untuk judul dalam posting ini saja sudah diblokir oleh Telkomnet dan Indosat.

Vagina Perempuan : Milik Negara!

on Monday, May 5, 2008

Kondom perempuan? Pasti kawan-kawan sudah pernah mendengar atau melihat produk itu. Sebenarnya hal ini bukan hal baru, kalau dicermati perjalanan program KB di Indonesia mulai dari tahun 1971 hingga 2000, laju pertumbuhan penduduk sangat bisa terkendali (1971-1980 laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,32 %, antara tahun 1980 dan 1990 mencapai 1,97 %, dan tahun 1990-2000 menjadi 1,5 %. Data BKKBN 2000). Ya, dengan mensyaratkan : PEREMPUAN SEBAGAI TUMBAL!


Entah berapa alat KB yang didesign dan dicekoki untuk perempuan. Mulai dari IUD-T dengan reaksi negatifnya bagi tubuh antara lain : erosi leher rahim, dan kegemukan (maaf bukan "gemuk" dari perspektif phisycly lho..tapi faktor kesehatan), tubectomy..pil KB, suntik..hingga era kondom perempuan????. Kalo di tahun 80-an di hampir seluruh daerah pedesaan Indonesia..kaum perempuan dipaksa untuk menggunakan "susuk" KB dengan pengawasan polisi, babinsa hingga toma dan toga!!!!. Sangat represif!!!! Negara menganggap perempuan Indonesia adalah properti-nya. Selalu bisa dikontrol. Bahkan hak2 reproduksinya pun dikontrol oleh negara.

Dalam perspektif program penanggulangan HIV/AIDS, sekian belas tahun program diperuntukkan bagi WPS dengan pendekatan kondom (kondom laki-laki). Tetapi bagaimana hasilnya? Apakah sudah dapat membendung laju epidemi IMS atau HIV? Hampir di beberapa lokasi di Jawa Tengah angka IMS-nya masih pada kisaran 80 - 90% positif...ya tentu saja bukan karena hal "kondom laki2 pada WPS" tetapi mungkin juga karena kebijakan "obat program" oleh rejim medis di berbagai puskesmas dan kinik IMS yang ada menggunakan antibiotik yang sudah resistan dengan IMS.

Pendekatan kepada WPS tersebut sebenarnya pun dalam rangka mengintervensi pelanggan WPS, karena yang dilakukan bagaimana teknik negosiasi dan promosi penggunaan kondom kepada pelanggan. Sekian lama hal itu terjadi dan tidak membuahkan hasil yang sesuai harapan. Dan selama itu juga perempuan yang berprofesi sebagai WPS dieksploitir oleh mucikari, negara, bahkan LSM sebagai konsekwensi promosi kondom dengan jalan pintas yaitu : WPS lah yang membeli kondom, mereka yang mempromosikan kepada pelanggan dan pabrik kondom lah yang untung...epidemi IMS/HIV jalan terus!!!!!!!!!!!

Kondom perempuan? Berpihak pada perempuan kah atau justru semakin mengeksploitir posisi perempuan..ataukah benar "vagina ini milik negara???"

wassalam,

@

Katarsis

on Thursday, May 1, 2008

Mingu ini, aku dan officer FHI lainnya dari Jakarta, Kepri dan Jatim melakukan fasilitasi staf lapas/rutan untuk wilayah2 tersebut di Yogya. Kali ini menyasar pada peran media komunikasi-informasi-edukasi, khusus lapas/rutan. Bagiku, ini merupakan sebuah proses pelatihan yang unik. Unik, karena kami sebagai fasilitator tidak menggunakan batasan referensi terlebih dahulu, hanya berbasis pada sebuah tujuan. Yaitu "bagaimana para staf lapas itu mampu memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menggunakan dan mengembangkan media sebagai alat komunikasi&edukasi di lapas". Setiap dari kami, dengan sangat bersemangat berusaha menggagas konsep dan mencipta implementasinya 12 jam sebelum pelatihan 3 hari itu dimulai. Dan ternyata, cara "edan" itu pun cukup berjalan secara memuaskan. Indikatornya adalah : peserta merasa puas menerima beberapa input dan update informasi plus skill dengan metodologi andragogi yang mempersilahkan segala potensi yang mereka miliki (individu maupun kelompok) dielaborasikan dengan tujuan tiap sesinya. Lalu, puas dirasakan dari kami sebagai fasilitator yang telah membawa peserta terlibat penuh sehingga melebihi dari espektasi tujuan umum pelatihan..(kalau profesional fasilitator pasti sudah sibuk memencet kalkulatornya, untunglah kami ini hanya buruh upahan bulanan..hehe).


Senang, puas, ringan dan menyegarkan. Kesimpulan itulah yang aku dapat dari proses pelatihan itu. Namun yang ada beberapa hal yang "mengganggu" sekaligus "memuaskan" di luar rangkaian sesi itu. Kebetulan aku bekumpul dengan kawan-kawan dari propinsi lain yang kadang optimis tetapi tidak kalah seringnya pesimis menghadapi urusan program, birokrasi, komunitas, advokasi, sumber daya LSM, perda, aturan-aturan lokal lainnya semua hantu belau terkait HIV & AIDS. Di saat-saat tertentu kami sering melakuan pembicaraan.Tidak hanya aku yang gelisah. Keputus-asaan tampak jelas menjadi atmosfer diskusi hangat kami. Tapi tidak jarang juga luapan ide, imajinasi, mimpi dan kemarahan atas kebijakan atas sistem pun saling kami lontarkan. Yang kesemua itu mengarah pada : PERUBAHAN!. Perubahan yang kami maksud dimulai dari : teknis sasaran program ini, siapa melakukan apa, dimana, kapan, bagaimana hingga perubahan sistemik kebijakan negara atas situasi ini saat ini dan kedepan.

Fuihhh.......panjang sekali dan sedikit melegakan. Lontaran-lontaran ide dan makian buruh-buruh proyek USA atas negeri ini pun tampak bersemangat. Bahkan beberapa kali kami pun membayangkan langkah-langkah bijak pada yang harusnya dilakukan oleh lembaga ataupun negara donor / penyumbang. Kalimat conditional yang lebih banyak kearah tipe II dan III, dalam tata bahasa pelajaran bahasa Inggris menyebutnya. Yang intinya : lebih banyak mustahilnya...If i could being the donors, i would...bla..bla... hehehe....

Sekali lagi yang aku dapatkan di Yogya, adalah kesenangan. Senang bisa membicarakan diri sendiri dan orang banyak atas kerja yang tak kunjung usai ini. Melepaskan kemarahan, ketidakpuasan, mengakui kekuatan kelompok-kelompok lainnya (yang selama ini dianggap "pesaing"), berharap-harap atas perubahan, mengakui kebrengsekan sistem dan jujur atas kebodohan selama ini ternyata..sangat menyenangkan! Melegakan! Sangat membebaskan! Haaahhhh...........Walau hanya sejenak. Sangat sejenak. Karena tidak kalah sekejap, kenyataan menyuguhkan ketertidakpihakan pada orang-orang seperti kami atas kondisi ideologi dan intelektual yang terjajah. Karena faktanya : kebijakan para cukong kami masih membidik dan mengintervensi "hilir" atau "dampak" dari rangkaian proses ketidakadilan sosial ini sebagai "setoran" kerja kacung-kacung mereka. Kebijakan yang absurd!

Setidaknya aku dan kawan-kawan masih bisa ber"katarsis"..semoga
Selamat Hari Buruh!

wassalam

@